SELAMAT DATANG WA'A KASANGKOMPO (SAUDARA) di BLOG ANAK PAMONA . . . .PAKAROSO MOSINTUWU NAKA MOLANTO . . . . SINTUWU MAROSO . . . .

Senin, 27 Mei 2013

Tradisi Mompikasi



Mompikasi merupakan salah satu kepercayaan suku Pamona yang sampai saat ini masih dilakukan dibeberapa daerah...
Ternyata kepercayaan ini diturunkan oleh nenek moyang suku Pamona yang akhirnya menjadi sebuah tradisi yang masih melekat pada beberapa tokoh-tokoh suku Pamona
Mompikasi merupakan cara memanggil arwah orang yang sudah meninggal dan biasanya dilakukan pada malam ke tiga setelah seseorang meninggal, sebenarnya tidak ada tujuan yang jelas tetapi biasanya keluarga sengaja menyimpan sesuatu benda yang merupakan milik arwah tersebut dengan maksud pada saat acara mompikasi arwah tersebut datang dan mengambilnya dan dilanjutkan pada keesokan harinya yaitu mengubur benda tersebut di makamnya. kemudian cara ini juga dipakai sebagai sarana komunikasi antara orang yang sudah meninggal dengan keluarganya. Sekitar jam 22 malam seorang tokoh yang dianggap memiliki kemampuan untuk memanggil arwah tersebut berdiri di depan rumah sambil membakar kemenyan dan membacakan mantra. lampu dalam rumah harus dimatikan, tokoh yang memanggil arwah tersebut akan memberikan tanda jika arwah itu telah datang dan akan masuk ke dalam rumah, biasanya kehadiran arwah tersebut didampingi oleh arwah yang lain (kerabat/keluarga) itulah sebabnya dalam waktu yang ditentukan (biasanya 20 menit) lampu harus segera dinyalakan untuk mencegah arwah yang lain masuk, karena dalam kepercayaan suku pamona jika arwah yang lain masuk maka mereka akan mengganggu orang yang ada di dalam rumah.



Tiga Filosofi Hidup Orang Pamona



Sintuwu Maroso Tuwu Malinuwu, Tuwu Siwagi, merupakan kata-kata
bijak orang tua dulu  dan  tdk dapat di terjemahkan satu persatu tapi
terkait satu dengan lainya.
Sintuwu = sepakat / setuju/ bersatu
Tuwu = hidup / kehidupan
Malinuwu = hidup dalam suasana aman, damai sejatera

Sintuwu Maroso mengandung makna jika kita harus bersatu maka
kita kuat, mampu melakukan kegiatan seberat apapun.

Tuwu Malinuwu mengandung makna hidup yg subur, berkembang
biak dengan baik dan berkelanjutan.
Malinuwu dikiaskan ibarat orang berternak, ternaknnya tumbu sehat,
berkembang biak dengan baik tidak terkena penyakit.

Jika diibaratkan tanaman, tumbuh subur, berbuah lebat & menjanjikan
kehidupan yang sejahtera bagi pemiliknya.

Orang tua dulu biasa membawa barang dari kebun atau kekebun diisi
dalam Baso. Kemudian dibagian baso sudah di letakan Boru melingkar
sehingga masih bisa diletakan barang lagi diatasnya Agar supaya barang
barang di dalam baso tidak mudah tumpah maka di taru bilah bamboo
untuk menguatkan boru yang dilingkarkan di atas baso.

nah, bilah2 bambu yg di sisipkan sebagai penguat itu namanya siwagi

Tuwu Siwagi dimaknai dgn adanya kesatuan keutuhan, kebersamaan
kita bersama untuk mengapai kehidupan yang lebih baik.

Dalam Malinuwu mengandung pula makna dalam menjalani hidup tidak
ada keributan, perselisihan.
Sehingga untuk memaknai filosofi ini tdk dapat diterjemahkan satu per
satu tapi saling berkaitan satu dengan lainnya.


Tengke & Kayori

Kebiasaan orang Pamona  mengungkapkan perasaan hati yang paling dalam melalui bentuk bahasa yang di kenal dengan istilah “tengke” dan “kayori”. Istilah “tengke” mengandung pengertian bahasa berirama sedang “kayori” dapat disamakan dengan pantun. Tengke umumnya hanya diketahui oleh Tua-tua adat untuk menyampaikan isi hati atau maksud yang sangat penting secara filosofis. Penggunaannya adalah pada waktu temu pendapat atau pada pesta-pesta tertentu.


DERO MODEREN



Perayaan padungku di kota tentena dan daerah lain di Sul-Sel ,Kab: Luwu Timur khususnya di daerah Mangkutana dan sekitarnya tidaklah berakhir sampai matahari tenggelam namun setelah seharian masyarakat melakukan "open house" bagi tamu yang datang kini ketika malam tiba, penduduk kota tentena tumpah ruah menuju lapangan menghadiri ritual dero.

Dero adalah tarian yang dilakukan sekelompok orang yang melingkar dengan gerakan sederhana namun serempak yang berputar-putar tanpa henti sampai lingkaran yang dibuat menjadi sebuah lingkaran besar dimana seluruh warga berbaur bergenggaman tangan sambil menari dengan penuh sukacita merayakan perayaan padungku.

Dero sendiri bukan hanya sekedar tarian tanpa makna, Dero melambangkan persatuan masyarakat tentena tanpa melihat perbedaan latar belakang. semua tumpah ruah menjadi satu saling menggenggam tangan membuat suatu gerakan yang serempak dan selaras. Pada awalnya tarian Dero ini diiringi dengan musik tradisional gendang dan gong yang berada di tengah-tengah lingkaran warga yang menari Dero. Para pemain musik tradisional ini memainkan gendang dan gongnya dengan irama yang menghentak berharmonisasi dengan gerakan yang serempak menghasilkan sebuah tarian yang apik. Namun seiring perkembangan zaman, kini tarian Dero sudah tidak menggunakan alat tradisional lagi.

Menurut bang james warga yang menjamu padungku dan mengantar kami ke pertunjukan Dero ini,sekitar tahun 2000 alat musik tradisional berupa gendang dan gong mulai digantikan oleh electone (keyboard dengan berbagai nada) namun lagu-lagu yang dinyanyikan masih lagu-lagu berbahasa pamona.

Perubahan alat musik pengiring madero ternyata tidak mendapatkan perhatian yang cukup intens budayawan ataupun pemerintah setempat sehingga masyarakat sebagai pelaku perlahan-lahan mulai merubah ornamen-ornamen madero. Kami berkesempatan untuk melihat dan mengikuti Dero secara langsung kali ini, namun alangkah terkejutnya kami karena pada acara Dero kali ini sebuah merek rokok yang menjadi sponsor acara mendatangkan langsung seorang Disk Jockey (Dj). Iringan lagu yang menghentak dibarengi dengan sorotan lampu yang berwarna-warni membuat suasana Dero saat ini tak ayalnya sebuah penampilan seorang DJ di klub-klub malam yang ada di kota besar. lagu- lagu yang dibawakan penyanyi-pun merupakan lagu campuran yang bukan hanya saja lagu berbahasa pamona namun lagu-lagu dangdut dan lagu-lagu dari band-band tanah air yang diremix menemani Dero sepanjang malam.

Sungguh sangat disayangkan memang, karena pergeseran nilai budaya ini secara perlahan juga akan menghapus identitas masyarakat tersebut. Padahal padungku dan Dero ini merupakan kekayaan atau aset masyarakat Pamona khususnya yang ada di kota tentena. masyarakat dalam hal ini sebagai pelaku seharusnya dapat memilah dan memilih apa saja yang dapat diterapkan tanpa mengubah orgininilitasnya. Budayawan dan pemerintah yang berfungsi sebagai pengontrol juga seharusnya lebih peka dan cepat tanggap terhadap perubahan yang terlalu jauh sehingga suatu tradisi akan tetap terjaga kelestariannya beriringan dengan perubahan zaman.



UPACARA ADAT "KATIANA"


Upacara masa hamil pada suku bangsa Pamona ini dalam bahasa daerahnya disebut "Katiana", yaitu upacara selamatan kandungan pada masa hamil yang pertama dari suatu perkimpoian seorang ibu. Upacara Katiana ini biasanya dilakukan apabila kandungan itu sudah berumur 6 atau 7 bulan, di mana kandungan dalam perut sang ibu sudah mulai nampak .

Maksud Penyelenggaraan Upacara Maksud utama dari pada penyelenggaraan upacara Katiana ini adalah keselamatan baik untuk kesalamatan ibu, rumah tangga, dan khususnya tertuju kepada keselamatan bayi di dalam kandungan. Artinya bahwa dengan upacara ini didoakan agar bayi di dalam kandungan sang ibu dapat tumbuh dengan subur, sempurna, dan tidak banyak mengganggu kesehatan sang ibu. Di balik upacara tersebut maka secara psikologis, memberikan pegangan bagi sang ibu dan seluruh sanak kerabat yang dapat dijadikan pegangan yang kuat selama dalam masa kehamilannya agar tetap tabah dan kuat menghadapi hal-hal yang cukup kritis dalam kurun waktu 9 bulan itu. Hal ini berarti suatu dorongan dan motivasi bagi sang ibu agar ketenangan tetap melekat dalam jiwanya selama masa hamil.

Waktu Penyelenggaraan Upacara Di dalam menyelenggarakan upacara, suku bangsa Pamona masih mengenal waktu-waktu yang baik dan waktu yang tidak baik. Karena itu, dalam kaitannya dengan upacara Katiana ini ia harus memperhitungkan waktu-waktu yang baik. Dalam hal ini yang berperan menentukan waktu adalah para dukun. Dukun atau topopanuju (Pamona) inilah yang dapat mengetahui apakah kandungan ini sudah berumur 6 atau 7 bulan, dan sekaligus menentukan waktu penyelenggaraan upacara.Biasanya yang menjadi dasar perhitungan mengenai penentuan waktu ini adalah keadaan bulan di langit. Apabila bulan di langit adalah bulan berisi (7 sampai 15) berarti waktunya cukup baik, tetapi apabila bulan di langit sudah berkurang (16 sampai dengan 30), maka waktu ini dianggap kurang baik. Hal ini dikaitkan dengan anggapan agar bayi nanti yang akan lahir dan tumbuh sampai dewasa akan tetap cerah, yaitu secerah dengan terangnya bulan ke 7 sampai bulan ke 15 di atas langit itu.

Tempat Penyelenggaraan Upacara Upacara diselenggarakannya di rumah orang tua sang ibu yang sedang hamil. Perlu diketahui bahwa sistem kekerabatan (kesatuan hidup setempat) bagi suku bangsa Pamona, apabila seorang anak gadis yang sudah kimpoi, maka suaminya harus tinggal bersama menetap di rumah orang tua istrinya. Biasanya sebelum upacara diselenggarakan di rumah orang tua dari ibu yang hamil, maka diadakan persiapan seperlunya antara lain mengundang seluruh kerabat kedua belah pihak, baik yang jauh maupun yang dekat, di samping mengundang para tetangga dekat atau kenalan-kenalan lainnya.

Penyelenggaraan Upacara Pada penyelenggaraan upacara ini maka petugas inti adalah topopanuju (dukun) yang merupakan keahliannya. Topopanuju ini adalah seorang perempuan yang sudah berumur (lebih dari 50 tahun). Dialah sebagai petugas inti yang menentukan jalannya upacara ini. Di samping itu, ia juga didampingi oleh orang-orang tua kampung terutama sanak keluarga yang semuanya terdiri atas perempuan yang sudah berkeluarga. Selain itu juga didampingi oleh tokoh adat setempat. Kadang-kadang dalam penyelenggaraan upacara Katiana ini seluruh kerabat baik yang jauh maupun yang dekat diundang untuk menghadiri upacara ini. Karena itu, biasanya diadakan persiapan-persiapan upacara, apalagi jika yang diupacarai adalah anak seorang bangsawan atau anak raja.

Pihak-pihak yang terlibat dalam UpacaraPihak-pihak yang terlibat dalam upacara ini adalah topopanuju, tokoh-tokoh adat, sanak keluarga baik yang bertempat tinggal dekat maupun jauh, ibu-ibu rumah tangga di desa setempat, dan tua-tua desa. Bahkan biasanya secara spontan seluruh orang tua yang mendengar berita akan diadakannya upacara ini akan hadir. Jadi, jelas bahwa kerukunan hidup dan spontanitas sosial kemasyarakatan dan kehidupan gotong-royong pada suku bangsa Pamona ini sangat tinggi.

Persiapan dan Perlengkapan Upacara

Sebelum upacara ini dimulai maka diadakan persiapan dan perlengkapan upacara yang diperlukan. Persiapan di sini meliputi pengadaan materi dan alat-alat yang diperlukan atau pantangan-pantangan (tabu) yang perlu dihindari. Alat-alat upacara di sini adalah:

* seperangkat sirih pinang (tembakau, sirih, kapur, dan gambir)
* seperangkat piring-piring adat
* alat tumbuk padi yaitu alu
* tikar (boru) yang terbuat dari daun pandan
* satu ruas bambu yang diisi dengan air jernih
* ruangan upacara yang lantainya harus dari bambu

Jalannya Upacara

Apabila seluruh persiapan dan perlengkapan upacara telah siap dan hari yang telah ditetapkan oleh dukun telah tiba, maka upacara Katiana tersebut segera dimulai dengan tahap-tahap pelaksanaannya sebagai berikut:

* Ibu yang mengandung (yang diupacarai) mengambil tempat di ruangan upacara, yaitu di lantai yang terbuat dari anyaman bambu. Di dampingi oleh suami, seluruh sanak keluarga (ibu-ibu) baik dari pihak suami maupun dari pihak istri. Dukun tersebut harus berada di samping ibu yang diupacarai dengan didampingi oleh tokoh adat setempat, sedangkan lainnya (para undangan) mengambil tempat di sekitar ruangan upacara bahkan di sekitar rumah. Rumah suku Pamona adalah rumah panggung.
* Ibu yang diupacarai tidak diperkenankan memakai baju, rok, dan celana dalam kecuali memakai sarung yang diikat pada bagian atas buah dada, sedangkan toponuju memakai pakaian adat (mbesa) demikian pula tokoh adat yang ada. Alat-alat perlengkapan upacara seperti seperangkat sirih pinang, seperangkat piring adat, alu, boru (tikar), ruas bambu yang berisi air jernih, lemon suanggi (sejenis sirih), dan bunga pinang. Alat-alat perlengkapan tersebut diletakkan di depan sang ibu yang diupacarai.
* Setelah segalanya sudah siap maka upacara Katiana inipun dimulai. Toponuju memulai mengambil ruas bambu yang berisi air jernih sambil membaca mantera-mantera, sedangkan seluruh alat-alat perlengkapan upacara lainnya harus ditempatkan di depan ibu yang diupacarai. Setelah dukun membaca mantera-mantera, maka air yang ada di dalam bambu itu disiramkan ke kepala sang ibu secara perlahan-lahan sebanyak 7 kali. Bagi yang menyaksikan upacara ini harus mengikutinya dengan khusuk di tempat masing-masing. Setelah dukun menyiram air di kepala sang ibu, maka tokoh adat yang mendampinginya juga mengambil bagian untuk menyiram air di kepala sang ibu, demikian pula ibu (orang tua yang diupacarai) serta ibu-ibu kerabat lainnya. Setelah itu upacara puncak dianggap selesai.
* Setelah puncak upacara itu selesai, maka biasanya dilanjutkan dengan makan atau minum-minum. Bagi keluarga bangsawan biasanya makanan yang disajikan cukup besar karena memotong kerbau, tetapi hal ini tidak mengikat karena dapat saja cukup dengan minum saja.

Pantangan-pantangan yang harus dihindari

Pantangan-pantangan yang harus dihindari adalah semua benda yang bergantung harus diturunkan, belanga yang tertutup oleh penutup belanga harus dibuka, tikba yang tertelungkup harus dibuka, peserta upacara harus membuka cincin, gelang, rantai, dan semua yang mengikat dirinya harus dilonggarkan. Selain itu, sang ibu yang diupacarai dan suaminya serta kedua orang tuanya baik pihak perempuan maupun pihak laki-laki tidak diperkenankan/tidak boleh marah-marah (harus selalu merasa gembira), dilarang memotong/menyembelih binatang apapun juga, tidak boleh mengejek orang yang cacat.

Satu hal yang harus diperhatikan oleh sang ibu yang diupacarai adalah bahwa selama dia mengandung sampai melahirkan nanti harus selalu membawa lemon suanggi (lemon suanggi ini diberikan oleh Toponuju) pada waktu upacara Katiana ini diselenggarakan. Lemon suanggi ini tidak boleh lepas dari sang ibu, jadi harus selalu dibawa. Apabila pantangan-pantangan tersebut di atas dilanggar, maka akan menimbulkan akibat-akibat bagi sang ibu dan keluarganya, yang paling parah ialah akibat bagi sang bayi yang ada dalam kandungan. Akibat itu adalah susah melahirkan, jika lahir dia akan cacat atau sang ibu dan keluarganya mendapat musibah. Karena itu segala pantangan harus dihindari sebaik-baiknya. Sebaliknya kepada sang ibu dianjurkan selalu membawa lemon suanggi kemana saja dan harus melekat pada badannya, karena dalam lemon itu dianggap oleh suku bangsa Pamona sebagai alat penolak bahaya, penolak gangguan setan atau gangguan mahluk halus dan gangguan lainnya.

Lambang-lambang makna atau makna yang terkandung dalam unsur-unsur Upacara

Salah satu lambang yang paling dihormati oleh suku bangsa Pamona terutama dalam upacara daur hidup khususnya upacara perkimpoian adalah Sirih Pinang. Sirih pinang ini harus dimiliki dan dihormati oleh setiap orang di wilayah Pamona. Sirih pinang merupakan lambang kesucian, lambang pergaulan, lambang menjalin-hubungan kekerabatan, dan mempererat tali silaturahmi. Karena itu pada setiap upacara daur hidup termasuk upacara Katiana ini selalu dan diharuskan adanya sirih pinang ini sebagai alat kelengkapan upacara. Maksudnya agar bayi yang lahir tetap suci dalam perjalanan hidupnya kelak, juga diharapkan dapat menjadi tumpuan harapan untuk sampai pada jenjang perkimpoian nanti dan menurunkan keturunan yang baik-baik, dapat bergaul dengan masyarakat lingkungannya kelak, sedangkan lambang alu adalah bahwa pekerjaan orang khususnya wanita adalah menumbuk padi. Hal ini dikaitkan dengan pekerjaan dan kehidupan yang lebih di waktu mendatang, dan air yang digunakan dalam upacara ini adalah melambangkan agar di dalam melahirkan nanti tidak mengalami kesulitan, tetapi sebaliknya akan lancar seperti air mengalir.


Sumber :   Ephan Plur (  BAHASA PAMONA DI FACEBOOK )

Jumat, 17 Mei 2013

Tarian Dero atau Modero/Moende (seni tari)

Tarian Dero atau Madero adalah tarian yang berasal dari Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Tarian ini merupakan salah satu tradisi masyarakat Suku Pamona yang masih dipertahankan sampai saat ini. Suku Pamona adalah masyarakat asli Kabupaten Poso yang mendiami hampir seluruh wilayah kabupaten bahkan sampai ke sebagian wilayah kabupaten Morowali. Nenek moyang suku pamona sendiri berasal dari Luwu Timur daerah yang masuk ke wilayah provinsi Sulawesi Selatan. Suku Pamona adalah kesatuan dari beberapa etnis di wilayah Sulawesi tengah. Meskipun demikian masyarakat Suku Pamona hidup rukun dan berdampinagn. Hal ini tergambar dari salah satu kesenian yang berasal dari suku tersebut yaitu tari dero poso.
Bagi masyarakat Suku pamona, Tari Dero adalah tari yang melambangkan sukacita atau kebahagiaan. Tarian ini telah lama dipertahankan oleh masyarakat Poso khususnya masyarakat di yang tinggal di sepanjang lembah danau Poso. Bagi masyarakat setempat tarian ini adalah  bentuk rasa syukur atas hasil panen yang diperoleh. Tarian ini sudah dikenal sejaka masyarakat mengenal bertani atau bercocok tanam sebagai mata pencaharian. Dahulu tarian ini lazim dilakukan oleh masyarakat di masa panen terutama panen padi.
Tarian ini cukup sederhana, biasanya dilakukan di daerah atau lapangan yang luas. ini dikarenakan jumlah peserta tarian ini tidak dibatasi. Tarian ini disebut juga dengan Tari pontanu atau sejenis tarian yang mengajak para penonton ikut menari. Siapapun yang mau mengikuti tari ini bisa bergabung tanpa harus memikirkan skill atau bakat. Untuk melakukan tarian ini tidak sulit, para penari membuat sebauah lingkaran sambil berpegangan tangan kemudian melakukan hentakan kaki dua kali ke kiri dan dua kali ke kanan. Gerakan-gerakan ini dilakukan sesuai dengan irama pantun yang saling bersahutan. Tarian ini juga diiiringi oleh hentakan alat music ganda yaitu alat music tradisional sejenis gendang dan ngongi yaitu alat music tradisional sejenis gong yang dimainkan oleh para pemuda dan orang tua.
Selain sebagai ungkapan rasa syukur terhadap hasil panen, masyarakat Poso juga menganggap tarian Dero sebagai wujud kerukunan dan persahabatan serta sebagai kesempatan untuk mendapatkan jodoh. Tarian ini juga bisa dianggap sebagai tarian pemersatu karena dalam tarian unsur-unsur diskriminasi, sentiment agama dan ras serta kelas social tidak dihiraukan. Dalam tarian ini semua orang dari berbagai latar belakang adalah sama, yang ada hanyalah perasaan sukacita dan rasa syukur yang sama-sama dirasakan oleh para penari Dero Poso.
Tari Dero sampai saat ini masih menjadi tradisi yang masih dipertahankan oleh masyarakat setempat. Seiring dengan perkembangan zaman, eksistensi Tari Dero juga masih bertahan sebagai aset kebudayaan dari kabupaten Poso. Kekinian, tari dero tidak hanya dapat disaksikan atau diikuti pada saat panen saja, tari Dero juga biasa dilakukan saat malam setelah pesta pernikahan atau pada acara-acara besar adat.


Alat musik yang dipergunakannya pun tidak harus ganda dan ngongi, alat music modern seperti organ tunggal atau electune juga bisa menjadi pengiring tari pemersatu ini. Walaupun masih ada, tari dero kini hanya bisa ditemukan di beberapa desa atau daerah saja di Kabupaten Poso itu pun tidak sering dilakukan, dalam  setahun mungkin hanya 3 atau 4 kali kali kita bisa mengikuti tari Dero. Konflik  dan perselisihan antar agama dan suku yang terjadi di kabupaten Poso menjadi salah satu alasan tari dero sulit dijumpai. Hal ini seolah menjadi ironi bagi kehidupan masyarakat Poso yang dahulu cinta damai dan terkenal dengan tari Dero nya.



Sumber : kebudayaanindonesia

Rabu, 15 Mei 2013

Bahasa Pamona

Berbicara mengenai Suku Pamona, akan terasa hambar jika tidak mengenal bahasa yang digunakan oleh suku yang mendiami daerah itu sendiri, yakni Bahasa Pamona. Struktur Bahasa Pamona cukup unik, setidaknya jika ditinjau dari ragam asal suku kata, dimana suatu kata asal tersebut dapat mempunyai banyak arti tatkala kata itu sendiri ditambahkan awalan, akhiran, sisipan ataupun imbuhan.
Contoh asal suku kata yang berubah arti setelah ditambah awalan, akhiran atau imbuhan dan membentuk beragam arti contoh: asal kata (dasar) ja'a = jahat;maja'a = rusak, jahat; kaja'a = kejahatan ; ja'andaya = kemarahan; kakaja'ati = sayang (untuk barang yang rusak)ja'anya =kerugiannya, sayangnya; ja'asa = alangkah jahatnya; ja'ati=di rusaki ja'a-ja'a=buruk; contoh lain : monco = benar; kamonconya=sesungguhnya, sebenarnya; monco-monco=sungguh-sungguh; moncoro = bersiaga; moncou= terayun;... dan banyak lagi.
Kemudian beberapa kata dasar yang jika digolongkan menjadi kata-jadian (seperti diatas, sebagian kata jadian tetapi sebagian tidak dapat digolongkan sebagai kata jadian) yang hanya bertokar tempat huruf, lantas membentuk lain arti contoh : soe = ayun; soa = kosong; sue = mencontoh, sia = sobek; sou/sau=turunkan (dari gendongan yang memakai tali/kain) sua=masuk sai= kais (ayam)seo (sobek2 karena lapuk)
Bahasa Pamona yang unik tersebut beberapa frasa suku katanya seperti hanya dipelintir, dan timbullah arti kata yang berbeda contoh : mekaju (mencari kayu bakar) mokuja (sedang berbuat apa?) makuja (bertanya mengenai gender bayi yang baru lahir). Contoh lain: koyo (usung) kuya (jahe) kayu (usungan yang terbuat  dari pelepah rumbia)koyu (simpul tali berkali-kali pada suatu rentang tali). contoh lainnya : Lio (wajah) lou (ayun badan kebawah) lau (ada dengan pengertian tempat dimaksud berada di tempat yang lebih rendah) lua (muntah) loe (jinjing) liu (lewat) dan sebagainya.

Lembaga Adat Pamona

Pamona merupakan nama persatuan beberapa etnis, yang mengandung arti pakaroso mosintuwu naka Molanto(Pamona), Kemudian Pamona adalah sala satu etnis yang menyatu pada saat pemerintahan Kolonial belanda, pencetusan nama Pamona di diklarasikan di Tentena, sehingga untuk mengenang deklarasi tersebut maka dibuatlah Tugu watu mpoga'a dan di tentena terdapat jalan yang bernama pamona. Dalam historis kelembagaan adat Pamona dulu di kenal pembagian kekuasaan untuk poso dipimpin oleh Datue Poso dan beberapa kabosenyanya memwakili etnis masing-masing....dan kalau di daerah Tana Luwu dipimpin oleh Mokole Tawi dan keberadaan lembaga Adat Pamona untuk saat ini terbagi menjadi 2 yakni untuk di daerah Poso bernama Majelis Adat Lemba Pamona Poso sedangkan untuk di tanah Luwu (Kabupaten Luwu Timur dan Kabupaten Luwu Utara) dinamakan Lembaga Adat lemba Pamona Luwu....dan saat ini masih dipelihara keberadaannya oleh seluruh masyarakat adat Pamona baik yang ada di mangkutana kabupaten Luwu Timur dan Kabupaten Luwu Utara maupun yang berada di Kabupaten poso.penjelasan Sesepuh Kabosenya' Yordan Torau, S.Pd yang saat ini menjabat sebagai Ketua Adat Lemba Pamona Luwu di wilayah 23 Lipu kabosenya selemba Pamona Luwu Kabupaten Luwu Timur dan Kabupaten Luwu Utara.




Antara PAMONA & POSO

Sesungguhnya suku Pamona tidak identik dengan suku Poso, Karena pada prinsipnya suku Poso tidak ada, yang ada adalah daerah yang bernama Poso, didiami oleh suku Pamona. ada yang berpendapat bahwa poso berasal dari Kata "maPoso" sendiri dalam bahasa Pamona berarti "pecah". sedangkan menurut beberapa tokoh poso kata poso sebenarnya berasal dari kata poso'o yang artinya pengikat, dinamakan sebagai kota poso karena bertujuan sebagai pengikat atau pemersatu antara orang pamona yang berasal dari gunung (pinggir danau, dan juga dengan suku pamona yang berasal dari pinggir pantai) sedangkan Asal nama Poso yang berarti pecah, konon dimulai dari terbentuknya Danau Poso. Konon, danau Poso terbentuk dari sebuah lempengan tanah berbukit, dimana dibawah lempengan bukit tersebut terdapat mata air. Disekeliling bukit merupakan dataran rendah, sehingga aliran air dari pegunungan terkumpul disekeliling bukit tersebut. Genangan air tersebut menggerus tanah disekeliling bukit sehingga makin lama air yang menyisip kedalam tanah, bertemu dengan air yang di dalam perut bumi. Akibatnya terjadi abrasi yang menjadi penyebab labilnya struktur tanah yang memang agak berpasir. Lambat laun pinggiran bukit tidak kuat lagi menahan beban bukit yang diatasnya, sehingga mengakibatkan pecahnya bukit yang terbawah masuk, jatuh kedalam kubangan mata air di bawah bukit, sehingga membentuk danau kecil. Bagi masyarakat suku Pamona zaman tersebut kejadian tersebut dituturkan sebagai pecahnya gunung yang membentuk danau tersebut, sehingga dinamai "Danau Poso" Danau yang baru terbentuk tersebut, kian lama kian membesar, karena sumber mata air di pegunungan sekelilingnya mengalir kearah danau baru tersebut. Akibatnya debit air danau dari waktu ke waktu terus naik, sehingga luas permukaannya menjadi demikian lebar. sesuai dengan sifat air yang selalu mencari dataran rendah, maka pada ketinggian permukaan tertentu, tebentuklah sebuah sungai yang mengarah ke pantai laut akibat danau tidak mampu lagi menampung debit air. Karena sungai tersebut berasal dari danau Poso, maka sungai baru tersebut, dinamai dengan nama yang sama, yakni Poso (sungai Poso). Muara sungai baru yang terbentuk itu kemudian didiami oleh sejumlah penduduk, karena di sungai baru tersebut ternyata terdapat banyak ikan. Kata poso sendKumpulan penduduk pemukim baru itu kemudian menamai kampung tersebut dengan sebutan yang sama, yakni Poso.
Adapun beberapa suku yang mendiami tanah poso adalah sebagai berikut :
1. Suku Pamona
2. Suku Mori
3. Suku Bada atau Badar
4. Suku Napu
5. Suku Tojo
6. Suku Kaili
7. Suku Padoe
8. Suku Lore
9. Suku Taa






                 

SUKU PAMONA

Suku Pamona, atau sering juga disebut suku Poso, mendiami hampir seluruh wilayah kabupaten Poso, Kabupaten Tojo Una-Una, Morowali,bahkan Propinsi Sulawesi Selatan (Luwu,Luwu Utara dan Luwu Timur). Sedangkan sebagian kecil hidup merantau di berbagai daerah di Indonesia. Jika di suatu daerah terdapat suku Pamona, biasanya selalu ada Rukun Poso, yaitu wadah perkumpulan orang-orang sesuku untuk melakukan sesuatu kegiatan di daerah tersebut. Agama yang dianut hampir seluruh anggota suku ini adalah Kristen. Agama Kristen masuk daerah sekitar 100 tahun yang lalu dan sampai sekarang diterima sebagai agama rakyat. Sekarang semua gereja-gereja yang sealiran dengan gereja ini bernaung dibawah naungan organisasi Gereja Kristen Sulawesi tengah (GKST) yang berpusat di Tentena, kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Sebagian besar masyarakat sehari-hari menggunakan bahasa Pamona (Bare'e) dan bahasa Indonesia dengan gaya bahasa setempat. Mereka berprofesi sebagai Petani, Pegawai Negeri, Pendeta, Wiraswasta, dan lain-lain.

Sesungguhnya suku Pamona tidak identik dengan suku Poso, Karena pada prinsipnya suku Poso tidak ada. Yang ada adalah daerah yang bernama Poso, didiami oleh suku Pamona. Kata "Poso" sendiri dalam bahasa Pamona berarti "pecah". Asal nama Poso yang berarti pecah, konon dimulai dari terbentuknya Danau Poso. Konon, danau Poso terbentuk dari sebuah lempengan tanah berbukit, dimana dibawah lempengan bukit tersebut terdapat mata air. Disekeliling bukit merupakan dataran rendah, sehingga aliran air dari pegunungan terkumpul disekeliling bukit tersebut. Genangan air tersebut menggerus tanah disekeliling bukit sehingga makin lama air yang menyisip kedalam tanah, bertemu dengan air yang didalam perut bumi. Akibatnya terjadi abrasi yang menjadi penyebab labilnya struktur tanah yang memang agak berpasir. Lambat laun pinggiran bukit tidak kuat lagi menahan beban bukit yang diatasnya, sehingga mengakibatkan pecahnya bukit yang terbawah masuk, jatuh kedalam kubangan mata air dibawah bukit, sehingga membentuk danau kecil. Bagi masyarakat suku Pamona zaman tersebut kejadian tersebut dituturkan sebagai pecahnya gunung yang membentuk danau tersebut, sehingga dinamai "Danau Poso" Danau yang baru terbentuk tersebut, kian lama kian membesar, karena sumber mata air di pegunungan sekelilingnya mengalir kearah danau baru tersebut. Akibatnya debit air danau dari waktu ke waktu terus naik, sehingga luas permukaannya menjadi demikian lebar. sesuai dengan sifat air yang selalu mencari dataran rendah, maka pada ketinggian permukaan tertentu, tebentuklah sebua sungai yang mengarah ke pantai laut akibat danau tidak mampu lagi menampung debit air. Karena sungai tersebut berasal dari danau Poso, maka sungai baru tersebut, dinamai dengan nama yang sama, yakni Poso (sungai Poso). Muara sungai baru yang terbentuk itu kemudian didiami oleh sejumlah penduduk, karena di sungai baru tersebut ternyata terdapat banyak ikan. Kumpulan penduduk pemukim baru itu kemudian menamai kampung tersebut dengan sebutan yang sama, yakni Poso.