SELAMAT DATANG WA'A KASANGKOMPO (SAUDARA) di BLOG ANAK PAMONA . . . .PAKAROSO MOSINTUWU NAKA MOLANTO . . . . SINTUWU MAROSO . . . .

Rabu, 12 Juni 2013

Tari Torompio Daerah Sulawesi Tengah

“Torompio” adalah ungkapan dalam bahasa Pamona, Sulawesi Tengah. Ungkapan ini terdiri atas dua kata, yakni “toro” yang berarti “berputar” dan “pio” yang berarti “angin”. Jadi, “torompio” berarti “angin berputar”. Makna yang terkandung dalam ungkapan tersebut adalah “gelora cinta kasih” yang dilambangkan oleh tarian yang dinamis dengan gerakan berputar-putar bagaikan insan yang sedang dilanda cinta kasih, sehingga tarian ini disebut torompio. Pengertian gelora cinta kasih sebenarnya bukan hanya untuk sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta, melainkan juga untuk semua kehidupan, seperti: cinta tanah air, cinta sesama umat, cinta kepada tamu-tamu (menghargai tamu-tamu) dan lain sebagainya. Namun, yang lebih menonjol ialah cinta kasih antarsesama remaja atau muda-mudi, sehingga tarian ini lebih dikenal sebagai tarian muda-mudi. Torompio dalam penampilannya sangat ditentukan oleh syair lagu pengiring yang dinyanyikan oleh penari dan pengiring tari. Tarian ini dahulu ditarikan secara spontan oleh para remaja dengan jumlah yang tidak terbatas dan dipergelarkan di tempat terbuka, seperti halaman rumah atau tempat tertentu yang agak luas. Para penontonnya muda-mudi yang berdiri dan membentuk lingkaran, karena tari ini didominasi oleh komposisi lingkaran dan berbaris. Peralatan dan Busana Kesenian Tari Torompio Daerah Sulawesi Tengah Peralatan musik yang digunakan untuk mengiringi tari torompio diantaranya adalah: Ganda (gendang); Nonggi (gong); Karatu (gendang duduk); dan gitar. Sedangkan, busana yang dikenakan oleh penari perempuan adalah: Lemba (blus berlengan pendek yang berhiaskan manik-manik); Topi mombulu (rok bersusun); Tali bonto (ikat kepala yang terbuat dai teras bambu dibungkus dengan kain merah sebesar 2 sampai 3 jari dan dihias dengan manik-manik; dan (4) kalung yang terbuat dari sejenis tumbuhan siropu atau dari batu. Sedangkan busana dan perlengkapan pada penari laki-laki adalah: Baju banjara (baju seperti teluk belanga yang diberi hiasan dari manik-manik); Salana (celana panjang yang berhias manik-manik); Siga atau destar; dan Salempa (kain untuk selempang). Selain peralatan musik dan busana bagi penarinya, tarian ini diiringi oleh beberapa buah lagu. Salah satu lagu yang dahulu biasa dinyanyikan pada masa Orde Baru adalah lagu Wati Ndagia. Lagu ini berisi pesan pemerintah untuk menggiatkan pembangunan. Berikut ini adalah terjemahan dari beberapa syair yang dilantunkan: Tumpah darahku yang kucintai tempat ibu bapaku dan aku dilahirkan. Poso Sulawesi Tengah sangat subur indah permai. Danaunya yang elok indah menawan yang takan kulupakan. Inilah kami anak-anak dari seberang akan bermain khas daerah kami. Pada pertemuan ini begitu indah kita bernyanyi, bersyair dengan rasa yang sesungguhnya. Pembangunan negara kita ini telah dirasakan sampai ke pedesaan. Wahai teman-teman, kita seirama dalam pembangunan ini. Serasi selaras pertemuan kita ini melambangkan persatuan kita. Budaya yang datang dari luar datang di negeri kita dan filter bagi bangsa kita adalah Pancasila. Ingat wahai kawan, tahun depan adalah pesta nasional kita perlihara keamanannya. Repelita adalah perjuangan bangsa sama kita laksanakan. Hapuskan rongrongan baik dari luar maupun dari dalam. Masyarakat adil dan makmur yang diimpikan bersama, bersatulah dalam perjuangan agar tercapai tujuan ini. Kekuatan adil dan makmur yang diimpikan bersama, bersatulah dalam perjuangan agar tercapai tujuan ini. Kekuatan harapan bangsa melalui kerja keras jeli dalam tindakan agar nyata dan tercapai cita-cita bangsa. Dengan selesainya permainan ini kami mohon diri sebab pertemuan yang begitu indah membuat kesan yang tak terlupakan. Kalung kenangan akan kutinggalkan sebagai lambang persatuan kita. Selamat tinggal wahai kawan, jangan lupa pesan pemerintah, sukseskan pembangunan di segala bidang, (baik siang dan malam). Pertunjukan Kesenian Tari Torompio Daerah Sulawesi Tengah Pertunjukan tari torompio diawali dengan gerakan linggi doe atau panggilan buat para penari. Dalam linggi doe para penari akan masuk ke pentas dari dua arah. Penari pria dari arah kiri dan wanita dari kanan. Selanjutnya, mereka bertemu dalam satu barisan dan kemudian berpisah membentuk satu baris memanjang untuk melakukan gerakan penghormatan. Setelah itu, disusul dengan gerakan mantuju ada. Dalam gerakan ini penari membentuk bulatan besar kemudian bulatan kecil, dengan maksud menyampaikan pesan bahwa mereka anak-seberang akan mempertunjukkan tari torompio. Setelah introduksi selesai, maka tarian dilanjutkan dengan gerakan masinpanca, yaitu para penari bertemu untuk mencari pasangan masing-masing sambil menyanyikan lagu yang menceritakan indahnya pertemuan tersebut. Kemudian, penari pria akan membuat gerakan-gerakan yang seakan merayu penari wanita. Gerakan ini disebut mencolodi. Dalam mencolodi ini lagu yang dibawakan syairnya menceritakan bahwa pertemuan antara penari pria dan wanita melambangkan persatuan di antara mereka. Setelah gerakan moncoldi selesai, maka dilanjutkan dengan gerakan mompalakanamo dan mosangko lima. Pada gerakan mompalakanamo penari dalam posisi berhadapan sambil menyanyikan syair yang menceritakan pertemuan ini sangat indah, berkesan dan tak dapat dilupakan. Sedangkan, gerakan selanjutnya yaitu mosangko lima, penari pria menyematkan seuntai kalung kepada penari wanita dan diteruskan dengan berjabat tangan sebaga ungkapan eratnya persatuan. Kemudian, dilanjutkan dengan ucapan selamat tinggal yang ditandai dengan lambaian tangan. Pada masa Orde Baru, saat melambaikan tangan tersebut digunakan juga untuk menyampaikan pesan pemerintah kepada para penonton, yang berisi tentang ajakan untuk mensukseskan pembangunan di segala bidang.  



Sumber: fajarindra.web.id

Sabtu, 08 Juni 2013

Datu Pamona ( Cerita Rakyat )



Dahulu kala, di Danau Pamona, Sulawesi Tengah terdapat sekelompok manusia yang masih sangat sederhana. Namun walau telah menetap, mata pencaharian mereka masih seperti kelompok-kelompok nomaden yang hidup dari hasil berburu dan meramu tumbuh-tumbuhan di sekitarnya. Dengan berbekal senjata parang, tombak, panah dan sumpitan para pria dari kelompok ini berburu binatang-binatang yang berada di sekitar Danau Pamona, seperti rusa, babi hutan, pelanduk, ikan dan bahkan burung. Sedangkan para wanitanya mengambil buah-buahan dan dedaunan untuk diramu menjadi bahan makanan.

Suatu hari, perkampungan kelompok manusia ini didatangi oleh tujuh orang Hindu yang datang dari seberang lautan. Ketujuh orang Hindu ini adalah para ahli pembuat patung dari batu dan juga pelukis. Kedatangan mereka adalah untuk mencari daerah yang subur untuk dijadikan tempat tinggal. Sebenarnya, sebelum sampai di daerah Pamona mereka sempat berlabuh di Sungai Poso. Namun karena merasa tidak cocok dengan daerah tersebut, maka mereka lalu meneruskan berlayar ke hulu sungai hingga tiba di daerah Pamona.

Sesampai di Pamona mereka disambut hangat oleh penduduk di sana, sehingga mereka tertarik untuk menetap. Disamping keramahan penduduknya, ketertarikan mereka untuk menetap adalah karena daerah di sekitar Danau Pamona sangat subur jika dibandingkan dengan daerah lain di sekitarnya. Setelah beberapa waktu tinggal di Pamona dan sempat pergi pula ke daerah Napu dan Bada, akhirnya mereka memutuskan pulang ke daerahnya untuk mengajak sanak saudara beserta keluarga-keluarga Hindu lainnya menetap di Pamona.

Singkat cerita, sejak kedatangan orang-orang Hindu tersebut daerah Pamona menjadi ramai. Para pendatang tersebut tidak hanya mengajari penduduk setempat cara membuat lukisan dan patung saja, melainkan juga cara bercocok tanam. Penduduk asli Pamona pun secara berangsur-angsur mulai beralih mata pencaharian dari pemburu dan peramu menjadi petani.

Lama-kelamaan, baik penduduk asli maupun pendatang mulai menyebar ke daerah Bada dan Napu. Dan, karena telah menjadi semakin ramai, maka sedikit demi sedikit mulai timbul perselisihan diantara mereka terutama mengenai batas tanah yang digunakan untuk bercocok tanam. Untuk itu, mereka kemudian mengadakan musyawarah agar masalah-masalah yang timbul antar sesama warga dapat diselesaikan. Dan, dalam musyawarah tersebut akhirnya disepakati untuk mengangkat sorang pemimpin diantara mereka sebagai “penegak hukum” agar dapat mengatur kehidupan warga Pamona.

Namun, dalam mencari seorang pemimpin yang berwibawa, arif, dan bijaksana tidaklah mudah. Memang ada beberapa orang di antara mereka yang mencalonkan diri sebagai pemimpin, tetapi karena syarat yang ideal untuk menjadi pemimpin tidak terpenuhi, maka masyarakat pun menolaknya.

Dalam kebimbangan menentukan siapakan yang cocok menjadi pemimpin diantara mereka tersebut, tiba-tiba datang dua orang pemuda berbadan tegap dan berkulit sawo matang yang merupakan anak kandung raja Hindu. Sebenarnya mereka berjumlah tiga orang, namun yang tertua telah menetap di Sigi untuk menjadi raja di daerah itu. Sementara yang dua orang lagi diutus untuk menetap di Pamona dan Luwu.

Selama beberapa minggu kedua pemuda itu menetap dan bergaul dengan masyarakat Pamona. Mereka merasa terkesan atas keramah-tamahan penduduk Pamona. Selain itu, mereka juga merasa betah karena di daerah tersebut tinggal orang-orang Hindu yang berasal dari kerajaan yang sama dengan mereka.

Setelah dirasa cukup lama berdiam di Pamona, orang yang paling muda segera melanjutkan perjalanan ke Luwu. Ia diantar oleh 6 orang pemuda Pamona dengan menggunakan sebuah perahu melalui Danau Poso menuju ke Tandompomuaka, lalu menyeberang ke Kuala Kodina. Sesampai di Kuala Kodina, tiga orang yang mengawalnya kembali lagi ke Pomuna, sedangkan yang lainnya meneruskan perjalanan menuju Luwu. Setelah sampai di daerah Luwu, pemuda ini kemudian menetap dan akhinya menjadi raja Luwu.

Sementara pemuda yang satunya lagi yang bernama Lelealu tetap tinggal di Pamona. Lelealu adalah seorang pemuda yang arif, bijaksana dan penuh wibawa, sehingga lama-kelamaan masyarakat menganggap bahwa dia dapat dan layak untuk dijadikan sebagai pemimpin mereka. Dan, agar lebih afdol sebagai seorang pemimpin maka Lelealu pun kemudian dijodohkan dengan gadis setempat yang bernama Monogu.

Setelah menikah, Lelealu kemudian diangkat menjadi raja Pamona dengan gelar Datu Pamona-Rombenunu. Datu Pamona pun kemudian dibuatkan sebuah istana yang disebut Langkanae oleh masyarakat Pamona sebagai tempat tinggal dan juga tempat ia memerintah negeri Pamona.




Sumber:
Diadaptasi bebas dari
Proyek Penerbitan dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1981. Cerita Rakyat Sulawesi Tengah. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, DepartemenPendidikan dan Kebudayaan.

Kisah Para Pahlawan Tana Poso


Sejarah adalah milik para pemenang. Karena itupula catatan tentang pejuang dan pahlawan di suatu wilayah adalah catatan yang dibuat oleh pemenang. Pada akhirnya catatan sejarah tentang pejuang Tana Poso tidak dibicarakan, bahkan dipinggirkan hampir lenyap. Upaya untuk mendekonstruksi sejarah Poso menurut tutur masyarakat akar rumput menemukan kisah perjuangan luar biasa yang menggambarkan bagaimana Tana Poso dipertahankan, diperjuangkan.

Wilayah ini disebut Poso pada abad ke 12. Adalah kisah pejuang Tana Poso-lah yang menggambarkan bagaimana Tana Poso menjadi kekuatan yang memiliki makna mendalam bagi komunitas yang mendiaminya selama berabad-abad.

Islam adalah agama yang pertama masuk di wilayah ini, yakni di Wotu pada tahun 1583, sementara Misionaris Kristen (Kruyt) masuk ke wilayah pedalaman pada tahun 1892 (Pertemuan Islam dan Kristen yang harmonis dan indah dimulai saat Kruyt diterima dan diberikan petunjuk bahkan diantarkan oleh Baso Ali – sekarang keturunan keluarga Odjobolo, tokoh Islam, ke wilayah pedalaman untuk menyebarkan agama Kristen).

Namun kedatangan Kruyt tidak disambut oleh penguasa Wotu. Hal ini pertama-tama karena hubungan antara Wotu dan Poso adalah hubungan yang sederajat, tidak saling menguasai atau menundukkan. Wotu memiliki wilayah kedaulatan tersendiri, demikian pula Poso dan demikian pula Luwu. Hubungan antara ketiga wilayah ini saat itu saling mengakui dan menghargai wilayah kedaulatan masing-masing. Namun, bila Poso memiliki urusan yang berkaitan dengan Luwu, Poso akan mengurusnya melalui Wotu. Demikian pula bila Luwu memiliki urusan dengan Poso maka akan melalui Wotu. Kesepakatan untuk saling melindungi bahkan disimbolkan dengan penanaman bambu kuning di Korobono dan biji mangga di Tanumbeaga (sekarang di atas Desa Taripa). Bambu kuning dan biji mangga ini menjadi simbol satunya Luwu dan Poso (baca:Pamona).
Penolakan Luwu atas permintaan Kerajaan Belanda disambut dengan melakukan serangan besar-besaran ke Wotu. Macoa Wotu ditangkap dan dibawa ke Jakarta. Hingga saa tini tidak pernah ada kisah yang terdengar pasca penangkapan Macoa Wotu yang mempertahankan kesepakatan kedaulatan. Penangkapan Macoa Wotu menimbulkan perlawanan di berbagai wilayah di Tana Poso. Yang terkenal adalah perlawanan Tabatoki di Pebato, perlawanan Tompayau di Kandela dan perlawanan Umanasoli di Peore ( bersama dengan Raja Mori, Marunduh).

Kisah perlawanan Tampayau dikenal paling heroik.
Meskipun memiliki pasukan gerilya rakyat setempat dalam jumlah yang kecil, Tampayau menolak menyerahkan diri. Kolonial Belanda tidak pernah berhasil menangkap Tampayau. Tampayau dipercaya memiliki kekuatan khusus yang membuatnya tetap bertahan hidup. Untuk menundukkan Tampayau yang dianggap paling merugikan, kolonial Belanda memakai siasat. Kerajaan Belanda meminta pimpinan Tana Poso (setelah melalui kesepakatan) untuk memberitahukan kepada Tampayau bahwa akan diadakan perundingan perdamaian.Pertemuan perundingan perdamaian ini mensyaratkan Tampayau datang sendirian dengan tidak membawa perkakas perang. Karena diperintahkan oleh pimpinan Tana Poso saat itu dan mendengar bahwa akan ada perundingan damai, Tampayau menyepakati pertemuan tersebut. Tampayau menghadiri rencana perundingan perdamaian dengan hanya membawa serta satu orang tukang dayung perahu.

Siasat perundingan kolonial Belanda ini berhasil. Datang dengan damai, Tampayau ditangkap dan diseret untuk dibunuh. Setelah dilucuti seluruh badan, Tampayau diseret masuk ke wilayah Tandobone untuk dibunuh. Namun dikisahkan, prajurit kolonial Belanda yang menyeret Tampayau kelelahan dan tertidur saat sedang beristirahat di bawah sebuah pohon. Tampayau berusaha melepaskan ikatannya dan bergerak cepat melawan prajurit yang terbangun, membunuh belasan prajurit.Perlawanan Tampayau membuat kaget para prajurit, lalu Tampayau dihujani peluru.Bahkan setelah gugur karena terjangan peluru, tubuh Tampayau dipotong-potong kecil. Namun kisah Tampayau telah menunjukkan perlawanan besar untuk mempertahankan Tana Poso, menolak tunduk.Tugu di Tandobone, Pamona, menjadi tanda keberadaan Tampayau.

Kemerdekaan yang diraih Republik ini adalah karena perjuangan Tampayau dan Tampayau-Tampayau lain di berbagai wilayah di Tana Poso. Makna amanat perjuangan kemerdekaan inimenempatkan visi rakyat untuk: "menyelamatkan semuanya", Rakyatnya, tanahnya, pulaunya, lautnya (tentu didalamnya hutan, tambang, sungai, air) dari penguasaan dan penaklukan (siapapun, atas nama apapun), lihat stanza 2 dan 3 lagu Indonesia Raya yang tidak lagi dinyanyikan.




RUMAH ADAT SULAWESI TENGAH



Di Sulawesi Tengah, tempat tinggal penduduk disebut Tambi. Rumah ini merupakan tempat tinggal untuk semua golongan masyarakat.
Bentuk rumah ini segi persegi panjang dengan ukuran rata-rata 7x5 m2, menghadap ke arah utara-selatan, karena tidak boleh menghadap atau membelakangi arah matahari. Sekilas konstuksi rumah ini seperti jamur berbentuk prisma yang terbuat dari daun rumbia atau ijuk.
Keunikan rumah panggung ini adalah atapnya yang juga berfungsi sebagai dinding. Alas rumah tersebut terdiri dari susunan balok kayu, sedangkan pondasinya terbuat dari batu alam. Akses masuk ke rumah ini melalui tangga, jumlahnya berbeda sesuai tinggi rumahnya. Tambi yang digunakan masyarakat biasa memiliki anak tangga berjumlah ganjil dan untuk ketua adat berjumlah genap.
Tiang-tiang penopang rumah ini terbuat dari kayu bonati. Di dalamnya hanya terdapat satu lobona (ruangan utama) yang dibagi tanpa sekat dan memiliki kamar-kamar, hanya pada bagian tengah lobona terdapat rapu (dapur) yang sekaligus menjadi penghangat ruangan ketika cuaca dingin. Penghuninya tidur menggunakan tempat tidur yang terbuat dari kulit kayu nunu (beringin).
Di sekeliling dinding rumah ini membentang asari (para-para) yang serbaguna,  bisa dijadikan tempat tidur yang berpembatas, tempat penyimpanan benda pusaka atau benda-benda berharga lainnya.
Sebagai hiasan, biasanya rumah ini memiliki ukiran di bagian pintu dan dindingnya. Motif ukiran tersebut terutama berbentuk binatang atau tumbuh-tumbuhan. Terdiri atas ukiran pebaula (kepala kerbau) dan bati (ukiran berbentuk kepala kerbau, ayam dan babi). Pebaula meurpakan simbol kekayaan, dan bati merupakan simbol kesejahteraan dan kesuburan.
Pada motif tumbuhan (pompininie) biasanya terbuat dari beragam kain kulit kayu berwarna-warni, dibentuk menjadi motif bunga-bunga yang kemudian diikat dengan rotan. Kain kulit kayu ini merupakan hasil tenunan tradisional dari kulit kayu nunudan ivo.  Konon, pompeninie ini memiliki kekuatan magis yang dapat menangkal gangguan roh jahat.
Karena Tambi hanya memiliki satu ruang utama, maka ia memiliki bangunan tambahan yang tidak dapat dipisahkan, yaitu Buho (terkadang disebut gampiri). Bangunan yang memiliki dua lantai ini,  berfungsi sebagai tempat musyawarah atau menerima tamu (lantai bawah), dan sebagai lumbung padi (lantai atas). Karena fungsinya sebagai tempat menerimatamu, maka letaknya tak jauh dari Tambi.
Bangunan lainnya yang sangat sederhana disebut Pointua, yaitu tempat menumbuk padi, dimana terdapat lesung yang disebut iso berbentuk segi empat panjang bertiang 4 buah dan kadang-kadang terdapat pula lesung bundar yang disebut iso busa
Gambar :

Ritual Leluhur Suku Pamona SUL-TENG


KEBIASAAN mengubur jenazah di dalam gua bukan hanya dilakukan penduduk Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Gua Latea, sekitar 57 kilometer arah Selatan Kota Poso, atau 258 kilometer dari Kota Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah merupakan kuburan purba suku Pamona, penduduk asli Poso.

Nenek moyang orang Pamona itu, dulunya hidup di bukit-bukit, khususnya yang hidup di perbukitan Wawolembo. Sistem penguburan dengan menaruh jenazah di gua-gua itu, baru berakhir sekitar abad ke-19 Masehi. Gua ini pernah mengalami keruntuhan batuan sekitar lebih 2000 tahun silam. Gua Latea terdiri dari dua tingkat yaitu, di bawah, terdapat empat pasang peti jenazah dan 36 buah tengkorak manusia. Sedangkan, di atas, terdapat 17 pasang peti jenazah, 47 buah tengkorak dan lima buah gelang tangan. Kedua bagian ini pernah dipugar tahun 1994.

Cara penguburan zaman dulu masyarakat Pamona ini, sama seperti yang dilakukan di Tanah Toraja,Sulawesi Selatan. Memang, menurut Yustinus Hoke (60), budayawan Pamona, berdasarkan historisnya, orang Pamona dan orang Toraja masih memiliki hubungan kekerabatan yang sangat erat. Karena masih ada hubungan kekerabatan itulah, sehingga beberapa tradisi nyaris sama, termasuk salah satunya adalah cara penguburan jenazah dengan menaruhnya di gua-gua. Tidak hanya di Gua Latea. Kuburan nenek moyang orang Pamona lainnya terdapat di Gua Pamona yang letaknya persis di tepi Danau Poso. Gua ini memiliki 12 ruang. Menurut Yustinus Hoke, orang Pamona dikuburkan di Gua Pamona ini berdasarkan kelas sosial masing-masing. Hanya saja tidak dijelaskan, di ruangan ke berapa menjadi kuburan bagi kalangan bangsawan dan di mana letak kuburan rakyat biasa.

Meski sebagai kuburan nenek moyang orang Pamona, tapi Gua Pamona ini tidak hanya menjadi tempat wisata yang indah untuk dikunjungi, tapi juga menjadi tempat bermain anak-anak setempat. Gua Latea dan Gua Pamona, adalah dua cagar budaya di Kabupaten Poso. Kedua gua ini terakhir kali ramai dikunjungi pada 1997 lalu, ketika dilaksanakannya Festival Danau Poso (FDP) yang kesembilan.

Setelah meletusnya konflik Poso tahun 1998, praktis Gua Latea dan Gua Pamona ini tak lagi dikunjungi wisatawan maupun peneliti. "Iya, memang sejak kerusuhan, dua gua ini sudah sangat jarang dikunjungi," kata Pendeta Hengky Bawias. Dan lebih menyedihkan lagi, pada FDP yang ke-10 tahun 2007 ini, pihak panitia tidak memasukan Gua Latea dan Gua Pamona sebagai tempat untuk dikunjungi. Padahal, menurut Pendeta Hengky Bawias, pada FDP ke-9 tahun 1997 lalu, Gua Latea merupakan salah satu tempat yang ramai dikunjungi oleh tamu lokal, tamu dari luar Poso maupun tamu mancanegara yang hadir pada FDP.



Bupati Saksikan Pengukuhan Dewan Adat Pamona



Bupati_menyerahkan_Boru_yang_merupakan_perlengkapan_kerja_Dewan_adat_Pamona
Di tengah-tengah perkembangan globalisasi saat ini banyak suku bangsa yang hampir-hampir kehilangan identitasnya, padahal identitas ini sangat penting agar kita tidak kehilangan jati diri sebagai masyarakat adat, karena adat dan budaya merupakan kekayaan daerah yang tidak ternilai. Tidak terkecuali masyarakat adat Pamona Luwu Timur, jangan sampai juga akan kehilangan identitasnya sebagai masyarakat adat. Untuk itu harus dilestarikan dan dipelihara sehingga masyarakat adat pamona tetap mengenal jati dirinya.

Hal ini disampaikan Bupati Luwu Timur, Andi Hatta Marakarma, ketika melakukan tatap muka dengan Pemangku adat Pamona se Luwu TImur yang dirangkai dengan dewan adat desa/dusun lemba Pamona di Desa Beringin Jaya Kecamatan Tomoni, Jumat (23/04/) lalu. Andi Hatta hadir selain sebagai Bupati juga dalam kapasitasnya sebagai Dewan Penasehat Lembaga Adat Lemba Pamona Luwu, bahkan ikut bertanda tangan atas keabsahan dewan adat yang baru dikukuhkan tersebut. Menurut Hatta, saat ini banyak orang yang telah kehilangan idetitasnya karena tidak lagi mengenal jati dirinya. Kondisi ini tidak boleh terjadi kepada masyarakat adat Pamona yang merupakan suku asli Luwu Timur yang tidak terlepas dari  kerajaan Luwu. Kedepan generasi muda lemba pamona harus bangkit, jangan kalah dari yang lain, apalagi potensi masyarakat Pamona sangat besar di Luwu Timur. 

Kepada dewan adat yang baru dilantik, Bupati berpesan agar selalu memegang teguh adat, dalam artian hukum adat adalah segalanya, dan pengurus harus jadi pelita bahkan jadi contoh bagi masyarakat yang diayominya.  “Alangkah naifnya kalau pemangku adat sendiri yang tidak tahu adat “urai Hatta.
Kepada Lembaga adat Lemba Pamona yang memayungi semua dewan adat pamona di tingkat desa dan dusun, Bupati meminta agar menyusun program kerja yang baik yang bersinergi dengan pemerintah daerah dalam rangka membangun masayrakat adat pamona yang lebih baik.
“ Sebagai bagian dan keluarga besar lemba Pamona, diminta atau tidak diminta saya akan berpartisipasi untuk memgembangkan adat dan budaya yang kita miliki ini “ tutur Andi Hatta.

Sementara itu, Ketua Lembaga Adat Lemba Pamona Luwu, Pellias Tangoa dalam sambutannya mengungkapkan tatap muka antara Pemangku adat Pamona se Luwu Timur dengan Bupati Lutim adalah ungkapan kerinduan pemangku adat Pamona se Luwu Timur agar dapat mengenal lebih dekat sosok Andi Hatta sebagai Bupati, dengan demikian, tidak ada lagi jarak antara bupati dengan pemangku adat, tetapi sudah dipersatukan dalam bingkai keluarga Lemba Pamona.

Oleh karena itu, ketua Dewan Lembaga Adat Lemba Pamona Luwu berpesan kepada semua dewan adapt pamona untuk selalu membantu Bupati Luwu Timur dalam menjalankan tugas bidang pemerintahan. 
“ Selaku pemangku adat kita memiliki tanggungjawab besar untuk menyukseskan seluruh program-program pembangunan yang sedang dan akan dilaksanakan kedepan. Apalagi kita punya keterikatan moral dengan bapak Bupati Luwu Timur selaku dewan penasehat Lembaga adat Lemba Pamona, sehingga kalau beliau gagal berarti kita juga gagal membantu beliau “ tegas Pellias Tangoa. 

Dalam kesempatan ini Bupati hadir bersama ketua DPRD Lutim, M. Sarkawi A. Hamid, camat Mangkutana dan Tomoni, serta para pemangku adat  Pamona se Luwu Timur. (humas).




Sumber : Website Kabupaten Luwu Timur

Marga Dalam Suku Pamona


Mengikuti kebiasaan orang Eropa yang mempunyai nama keluarga atau marga atau fam, maka orang Pamona juga mempunyai marga-marga seperti berikut :
Torau,Awundapu, Banumbu, Bali'e, Baloga, Belala, Betalino, Beto, Botilangi, Bulinde, Bungkundapu, Bungu, Buntinge, Dike, Dongalemba, Gilirante, Gimbaro, Gugu, Gundo, Kampindo, Kambodji, Kalembiro, Kalengke, Karape, Karebungu, Kayori, Kayupa, Koedio, Kogege, Kolombuto, Kolobinti, Kuko,Lakiu, Langgari, Lambangasi, Labiro, Liante, Lidongi, Lu'o, Lumaya,Lolongudju, Manganti, Metango, Meringgi, Mossepe, Mowose,Monipo, Nyolo-nyolo, Nggau, Nggo'u, Nua, Nyaua, Pakuli, Palaburu, Parimo, Pariu, Paroda, Pasunu, Patara, Pebadja, Penina,Pekita, Penyami, Pesudo, Poa, Pobonde, Podala, Polempe, Purasongka,Ratengku,Pusuloka, Rampalino, Rampalodji, Rantelangi, Rare'a, Ruagadi, Rubo, Ruutana, Sancu'u, Sawiri, Sigilipu, Sipatu, So'e, Sowolino, Tabanci, Tadanugi,Tadalangi, Tadadja, Tadjaji,Talasa, Tarante, Tasiabe, Tawuku, Tawurisi, Tekora, Tepara, Tiladuru,Tolala,Mogadi,Tobondo, Tolimba, Toumbo,Tumonggi, Turuka, Ule, Ululai, Warara, Wenali, Werokila nce'i to mori, Wuri,Wutabisu, dll. ( silahkan anda tambahkan jika ada yang anda ketahui )


Question book-4.svgSumber : Wikipedia bahasa Indonesia