SELAMAT DATANG WA'A KASANGKOMPO (SAUDARA) di BLOG ANAK PAMONA . . . .PAKAROSO MOSINTUWU NAKA MOLANTO . . . . SINTUWU MAROSO . . . .

Selasa, 22 Oktober 2013

Cerita Rakyat To' Pamona dan To' Wotu Asli

Cerita Part I :

Pada zaman dahulu kala dalam sebuah Hutan yang begitu luas dimana di dalamnya terdapat Sungai yang aliran airnya begitu deras dan luas. Di dalam hutan ini terdapat seseorang yang hidup di Hulu sungai dan melakukan aktivitas keseharianya adalah bercocok tanam atau bertani, dengan menanam berbagai jenis tanaman, mulai dari padi, buah-buahan dan jagung, dan orang ini di sebut sebagai " To' Lampu atau To' Pamona ". Suatu ketika pada saat musim panen jagung tiba To' Lampu ini mulai melakukan kegiatan panen jagungnya, sebagian hasil panennya dia simpan n sebagian pula dia konsumsi, asyik-asyiknya dia memakan jagung rebus dan bakarnya, dia tak sengaja membuang sisa jagungnya yakni tongkolnya atau dalam bahasa Pamonanya " Pusu jole " di sungai, sekian lama tongkol jagung yang di buang oleh To' Lampu ini terbawa arus atau aliran sungai, suatu ketika di Hilir sungai seseorang tak sengaja melihat tongkol jagung yang terbawa aliran air sungai, setika itupula orang ini kaget dan bertanya-tanya dalam diri dan berkata " ini adalah tongkol jagung, bagaimana mungkin ini bisa terbawa oleh air dan dari mana asalnya ?? ". Ia kemudian mengambil kesimpulan bahwa di dalam hutan yang luas dan lebat ini bukan hanya dirinya saja manusia yang hidup akan tetapi ada manusia lain dan seseorang yang menemukan tongkol jagung ini adalah " To' Wotu " yang hidup di sekitaran Hilir sungai .

Singkat cerita To' Wotu ini dengan rasa penasarannya ingin mengetahui dari mana asal tongkol jagung tersebut, Ia mulai mengikuti aliran sungai dari Hilir menuju Hulu sungai dan berharap menemukan petunjuk bahwa dari mana asal dan siapa sebenarnya pemilik tongkol jagung ini, apakah ini milik manusia atau dari hewan namun nalurinya percaya ini adalah milik seseorang, setelah sekian jauh dia berjalan menyusuri hutan, Ia menemukan sebuah pohon dan pohon tersebut begitu bersih beda dengan pohon-pohon yang ada di sekitarnya yang begitu kotor, di pohon yang bersih tersebut terdapat sebuah bambu yang di letakan dan menyerupai sebuah tangga untuk memenjat pohon tersebut dan ternyata pohon ini adalah Pohon Aren ata Enau yang dimana kelola untuk di buat Tuak atau Ballo atau Baru dalam bahasa pamonaya. Berdasarkan temuan yang ia ketemukan maka rasa penasarannya bahwa di dalam hutan ini bukan hanya dia akan tetapi ada orang lain, namun itu masih menjadi tanda tanya untuk dirinya menurut To' Wotu.

Untuk membuktikan bahwa didalam hutan ini bukan hanya dirinya dan temuan yang ia ketemukan mulai dari tongkol jagung sampai pada pohon tuak atau baru, ia memutuskan untuk menunggu di sekitar pohon tuak atau baru dengan bersembunyi, lama dia menunggu sosok yang ia tunggu-tunggu ini tak kunjung muncul  juga, maka dari itu ia memutuskan untuk kembali ke rumahnya atau pondokkan dan akan kembali keesokan harinya.

Keesokan harinya To' Wotu ini datang lagi ke Pohon Tuak atau baru dan berharap dia bisa bertemu dengan pemilik Pohon tersebut, namun sayang ia lambat ternyata To' Lampu baru-baru saja selsai mengambil air Tuaknya atau Ue baru. Maka To' Wotu ini memutuskan untuk pulang dan akan datang kembali pada sore hari, To' Wotu ini pulang ke tempatnya dan memutuskan untuk memberikan sesuatu pada sesorang yang dianggap masih misterius ini, pada sore hari To' Wotu ini kembali ke pohon tuak dengan membawa sesuatu di didalam kernajang kecil yang dianyam dari dedaunan dalam bahasa pamona kamboti dan meletakan atau mengantung barang tersebut pas tepat di anak tangga yang ada di pohon tuak dan To' Wotu ini berkata " kalau memang sosok yang saya cari tau selama ini adalah manusia pasti dia akan mengambil pemberianku ini, maka pulanglah To' Wotu ke tempatnya.

Keesokan harinya lagi To' Lampu ini datang untuk mengambil air tuaknya, namun tiba-tiba dia di kejutkan dengan sebuah keranjang kecil yang tergantung di anak tangganya, lalu ia membuka isi keranjang tersebut dan mencoba isinya ternyata isi dan rasanya adalah Garam, lalu To' Lambu ini berkata " berarti di sekitar atau di dlam hutan ini bukan hanya saya yang hidup akan tetapi ada orang lain namun dia itu siapa ?? " . Tanpa menunggu waktu To' Lampu ini pun membalas kiriman misterius dengan seikat Jagung muda. Hari berikutnya datanglah To' Wotu untuk melihat apakah barang yang ia simpan kemarin masih ada atau sudah diambil oleh sosk misterius itu, tiba di pohon Tuak dia mendapatkan seikat jagung muda, maka To' Wotu ini mulai menemukan titik terang dari pencariannya selama ini, bahwa ini adalah seorang manusia yang mengambil Garamnya dan menemukan beberapa bekas telapak kaki di sekitar pohon Aren tersebut, maka dari situlah To' Wotu ini memutuskan untuk menunggu di sekitaran pohon aren, sela beberapa jam kemudian trdengarlah langkah dari balik semak-semak di tengah hutan dan seketika itupula munculah sosok seseorang dengan berikatkan parang dengan rumahnya ( moguma ) lengkap dengan bambu untuk tempat air tuak atau Ue baru, maka To' Wotu ini mulai berkata " oh,, jadi kamulah orang yang selama ini saya cari tau, yang membuang tongkol jagung di sungai dan membuat air tuak atau ue baru ?? ", lalu To' Lampu ini menjawab " ia sayalah yang membuang tongkol jagung di sungai, jadi kamu juga yang menyimpan garam di tangga saya ? ", To' Wotu menjawab " ia itu saya, karena saya ingin mengetahui siapa pemilik tongkol jagung yang saya ketemukan di sungai.

Dari pertemuan dan perkenalan  di bawah pohon tuak inilah mulai terjadi komunikasi antara To' Lampu atau To' Pamona ( Suku Pamona ) dengan To' Wotu atau Orang Wotu asli, terjalin hububugan persahabatan, kekeluargaan dan silahturahmi antara keduanya.







Sumber : Berdasarkan dari beberapa tokoh masyarakat pamona yang penulis wawancarai

Kamis, 19 September 2013

Meloa, Upacara Sesudah Penguburan pada Suku Pamona


Upacara sesudah penguburan disebut Meloa (membesuk, berkunjung ke tempat penyimpanan tulang).


Maksud dan Tujuan Upacara. Upacara meloa diadakan dengan maksud untuk memberi doa kepada orang mati, agar selama dalam perjalanannya menuju ke dunia mati, dapat selamat dan rohnya diterima oleh Pueng Lamoa, di samping sebagai tanda pernyataan cinta kasih dari sanak keluarga/isteri/suami yang telah ditinggalkan.

Tujuan daripada upacara ini, adalah agar keluarga yang masih hidup dapat sadar atas keberadaannya bahwa setiap orang yang masih hidup itu akan mengalami kematian, ini berarti bahwa suatu peringatan bagi orang-orang yang masih hidup, agar mereka dapat melakukan lial-hal yang baik saja dan menghindari hal-hal yang bertentangan menurut adat dan kepercayaan yang telah dianut. 


Penyelenggara Teknis Upacara. Adapun pelaksana teknis dalam upacara ini adalah keluarga Kabose yang tertua sebagai hasil penunjukan dari keluarga yang hendak mengikuti upacara ini. Pemimpin upacara ini disebut Mokole.

Pihak-pihak yang Terlibat dalam Upacara. Karena upacara ini merupakan rangkaian upacara-upacara sebelumnya dan juga sebagai upacara terakhir bagi orang-orang mati yang dilakukan oleh pihak keluarga, maka seluruh keluarga, sanak keluarga, baik dari pihak keluarga isteri maupun pihak keluarga suami turut terlibat dalam upacara ini, sebagai tanda cinta kasih yang harus diberikan kepada si mati, di mana dalam pelaksanaan upacara ini masing-masing berperanan untuk terlaksananya upacara ini dengan baik.

Waktu Pelaksanaan Upacara. Upacara Meloa dilakukan pada sore hari sampai menjelang malam hari, karena menurut kepercayaan mereka waktu-waktu itulah yang paling baik, dan doa yang diberikan kepada orang mati dapat dikabulkan oleh Pueng Lamoa, sedang waktu untuk berkunjung ke kuburan dimulai sehari sesudah penguburannya sampai pada hari ke tiga.

Tempat Penlyelenggaraan Upacara. Upacara ini pada umumnya dilakukan di pekuburan yang telah ditentukan di mana orang mati dikuburkan. Sedang menurut kebiasaan yang dilakukan oleh suku bangsa Pamona seperti apa yang diuraikan pada bagian terdahulu bahwa mereka dikuburkan di dalam gua-gua atau pada tempat khusus yang ada di luar desa yang disebut Baruga.

Persiapan dan Perlengkapan Upacara. Persiapan dan perlengkapan-perlengkapan upacara antara lain:

Mempersiapkan semua perlengkapan-perlengkapan yang akan ikut dalam upacara ini yaitu berupa makanan lengkap dengan lauk pauknya serta minuman secukupnya, bahkan adakalanya diikut-sertakan binatang-binatang seperti: babi, ayam, domba dan kambing. Binatang ini adakalanya dipotong di tempat itu dan adakalanya binatang ini dipotong setelah tiba di rumah.

Mempersiapkan alat-alat makanan dan minuman untuk digunakan setelah kembali dari pekuburan, dan beberapa perlengkapan lainnya.
Jalannya Upacara. Setelah persiapan dan perlengkapan sudah siap untuk dibawa, maka keluarga yang ikut serta dalam upacara ini juga telah mulai berdatangan dan setelah hadir semuanya, Ialu mereka berangkat menuju ke kuburan di mana mayat itu dimakamkan. Apabila mereka telah tiba di tempat itu, maka sebelum upacara ini dimulai, pemimpin upacara terlebih dahulu memberikan kata-kata penghormatan dalam bahasa suku mereka yang artinya demikian : "Kami datang bersama dengan seluruh keluarga, dan membawakan makanan dan minuman untukmu, agar kamu senantiasa selamat dalam perjalanan menuju suatu alam kehidupan baru .............."

Kemudian makanan dan minuman yang dibawa disimpan di atas kuburan, adakalanya binatang itu dipotong dan adakalanya disimpan di tempat itu saja, dengan maksud makanan dan minuman itu dapat dimakan dan diminum budak-budak yang turut menjaga kuburan itu sampai pada hari yang ke 40. Ini berarti sebagai tanda cinta kasih dan rasa belasungkawa kepada si mati.

Sesudah itu "Mokole" memimpin upacara yaitu menyanyi yang diikuti oleh seluruh keluarga yang hadir. Nyanyian ini dilagukan sambil menangis sebagai tanda terharu dan berduka cita atas kematian yang ada di dalam kuburan (di dalam gua). Menjelang senja (malam hari), seluruh keluarga dan peserta upacara kembali ke rumah, hal ini dilakukan sampai pada hari yang ke tiga. Pada hari ke tigal setelah tiba di rumah, maka dilakukanlah acara, "Gulung tikar," ini berarti upacara kunjungan telah selesai yang kemudian dilanjutkan pada hari ke empat dan ke lima acara makan bersama-sama bagi keluarga terutama keluarga yang bertempat tinggal di luar desa, di samping sebagai tanda perpisahan. Hari ke enam sampai hari ke tujuh dilanjutkan acara yang disebut "Membewe" yaitu acara pengeringan mayat, agar mayat yang telah disimpan tidak menjadi busuk, di samping untuk disimpan dan dipersiapkan pada upacara tahunan (Mogave).

Pantangan-pantangan yang haru dihindari selama berlangsungnya upacara ini antara lain:

Tidak diperkenankan bagi keluarga (isteri/suami) memakai pakaian yang berwarna lain, kecuali warna hitam, sedang bagi keluarga tidak terikat
Tidak diperkenankan bersuka ria atau bergembira seperti, melakukan tarian, menyanyi dan sebagainya, kecuali nyanyian yang telah ditentukan untuk dinyanyikan pada waktu terlaksananya upacara.

Tidak diperkenankan mengeluarkan kata-kata yang tidak senonoh atau kurang pantas, yang menurut adat ialah suatu pelanggaran
Tidak diperkenankan kawin bagi isteri atau suami yang ditinggalkan, kecuali setelah upacara tahunan selesai. Ini berarti si isteri / suami masih tetap dalam suasana berkabung atau berduka cita.

Tidak diperkenankan bagi anggota keluarga termasuk anak-anaknya yang ditinggalkan untuk berselisih atau bertengkar karena masalah pembagian harta warisan, karena dapat mengakibatkan tidak tenteram roh atau jiwa orang mati selama dalam perjalanannya. Ini berarti bahwa seluruh keluarga harus hidup tenteram dan bahagia serta berdaya usaha untuk menghindari segala perselisihan. Yang terpenting bagi seluruh keluarga harus mempertahankan nilai-nilai sakraInya upacara selama masa waktu berkabung/berduka cita.

Dengan demikian pelaksanaan Upacara Kematian Tradisional suku bangsa Pamona telah diuraikan menurut tahap-tahapnya, dan seluruh pelaksanaan upacara kematian ini telah selesai.


SUMBER: infokom-sulteng.go.id
Dikliping Oleh Divisi Humas Forum Poso Bersatu

Jumat, 16 Agustus 2013

DIBALIK KEMEGAHAN BATU MEGALITIK “WATU MORA’A”

Terletak hampir dipersimpangan segitiga wilayah administrasi Kabupaten Poso, kabupaten Morowali dan Kabupaten Luwu Timur Sulawesi Selatan, diantara rimbunan pepohonan hutan Sulawesi Tengah, berdiri kokoh satu batu megalitik dengan memancarkan cahaya kehidupan dan daya tarik kemegahan laksana sebuah kesatrian bekas kerajaan yang tak berpenghuni . Dari jarak dekat tampak berbagai ruang dan bekas bekas sarana kebutuhan hidup manusia yang pernah mendiaminya. Lokasi ini dapat ditempuh dari dusun watumaete Desa Mayoa kecamatan Pamona Selatan kabupaten Poso sekitar kurang lebih 15 km melalui jalan setapak. Masyarakat desa Mayoa biasanya dapat menempuh perjalanan setengah hari melalui jalan kaki dengan medan perjalanan naik turun lembah yang cukup melelahkan. Pada tahun 2008 dan 2009 pemerintah kabupaten Poso kembali membangun jalan setapak dan rumah peristirahatan di lokasi watu mora’a. Hal ini dilakukan untuk mempermudah akses dan keamanan serta kenyamanan para wisatawan ataupun peneliti yang datang ke lokasi karena akses jalan dan tempat peristirahatan di lokasi watumora’a sudah mulai rusak dan nyaris tak memadai lagi. Sepanjang perjalanan akan melintasi beberapa tempat yang mencirikan bahwa terdapat bebatuan tambang yang berharga diantaranya emas, Batu giok dan bebatuan berharga lainnya. Jika datang ke lokasi watumora’a hendaknya harus bermalam mengingat waktu tempuh dan medan yang harus diperhitungkan. 




 Sumber : www.posokab.go.id

Raker Lembaga Adat Pamona Poso Tahun 2012

Budaya dan adat istiadat daerah merupakan kearifan lokal dan aset daearah yang merupakan salah satu norma kehidupan masyarakat yang terus tumbuh, dan dijunjung tinggi seiring dengan perkembangan peradaban manusia, demikian halnya dengan suku Pamona yang mendiami tana Poso yang saat ini berada di kabupaten Poso dan sekitarnya, merupakan satu dari banyak suku di Indonesia yang masih tetap memelihara budaya dan adat istiadatnya. Wakil Bupati Poso Ir. T.Samsuri, M.Si didampingi oleh Ketua umum majelis adat pamona kabupaten Poso Anthony H.Tadjongga,S.Sos, membuka dengan resmi rapat kerja lembaga adat Pamona kabupaten Poso Tahun 2012 Jumat 9 maret, ditandai dengan pemukulan gong sebanyak 7 kali. Sementara itu Wakil Bupati Poso dalam sambutannya menyampaikan bahwa, pemerintah daerah kabupaten Poso mendukung penuh terbentuknya wadah yang disebut majelis adat Pamona Poso, sebuah wadah yang diharapkan dapat terus menggali, mengembangkan, memelihara adat istiadat yang telah ada sejak zaman leluhur kita, untuk itu diharapkan agar seluruh peserta Raker ini dapat dengan serius dan bertanggung jawab dalam melaksanakan rapat maupun dalam pelaksanaan program-program kerja nantinya demi melestarikan Adat dan budaya daerah kita Tana Poso tercinta. Sebelumnya, Ketua umum lembaga majelis adat Pamona Poso kabupaten Poso telah mengukuhkan 28 orang yang telah diangkat sebagai panitia penyelenggara rapat kerja tahun 2012 yang disebut “Pepatongko” sesuai keputusan majelis Adat pamona kabupaten poso nomor: 01/MAK/2012 tentang penetapan badan pengurus lembaga adat pamona poso/lembaga adat pamona poso. Ketua Panitia pelaksana Pdt. R.Mbio, STh dalam laporannya menyampaikan bahwa pelaksanaan Raker Majelis adat pamona poso akan berlangsung 1 hari dengan peserta Camat, Majelis adat, utusan dari setiap desa/ kelurahan di 13 kecamatan masing –masing 2 orang serta utusan dari luar kabupaten poso masing –masing 1 orang. Narasumber / pembicara pada Raker ini adalah Bupati poso, Forum komunikasi pipmpinan Daerah dan kertua umum majelis adat pamona poso kabupaten Poso. Adapun tujuan dilaksanakannya Raker lembaga adat pamona poso adalah mensosialisasikan program kerja lembaga adat pamona poso hasil musyawarah majelis adat pamona Poso tingkat kabupaten Poso perriode 2011-2016, dengan tema “Tapapeawa potunda Ada ri lemba Ntana Poso. 



 Sumber : ww.posokab.go.id

Makam Leluhur Suku Asli Poso

Tentena-Pamona Puselembah Jika anda mengunjungi kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, mampirlah ke gua latea di tentena.salah satu pilihan untuk melepaskan kepenatan sembari menelusuri masa lalu dengan pemandangan alam yang indah serta hawa udara yang segar. Suku Pamona, suku asli Poso mempunyai kebiasaan unik saat menguburkan keluarganya yang meninggal dunia jenazah diletakan di dalam peti kayu yang kemudian disimpan di dalam gua. Sisa-sisa tradisi suku pamona ini masih bisa kita saksikan di gua –gua pamona salah satunya adalah Gua Latea, tentena sekitar 57 kilometer arah barat daya kota Poso. Gua Latea adalah gua alam berupa bukit kapur yang usia genesisnya ditaksir tidak kurang dari 30 juta tahun silam. gua ini digunakan sebagai kuburan suku pamona leluhur orang pamona yang juga biasanya disebut orang Poso itu dulunya hidup di bukit-bukit, khususnya yang hidup di perbukitan Wawolembo. Sistem penguburan dengan menaruh jenazah di gua-gua itu baru berakhir sekitar abad ke-19 masehi, setelah para penginjil dari belanda menyebarkan agama kristen di wilayah ini. gua ini pernah mengalami keruntuhan batuan sekitar lebih 2000 tahun silam. Gua latea terdiri dari dua kamar utama kamar pertama terletak di kaki bukit di mana terdapat empat pasang peti jenazah dan 36 tengkorak manusia beserta rangkanya. kamar kedua, terletak di atas bukit berisi di mana terdapat 17 pasang peti jenazah 47 buah tengkorak dan lima buah gelang tangan. Gua ini adalah kuburan leluhur suku pamona. cara penguburan zaman dulu masyarakat pamona ini sama seperti yang dilakukan di tanah toraja, sulawesi selatan. berdasarkan historisnya orang Pamona dan orang Toraja masih memiliki hubungan kekerabatan yang sangat erat. Tidak hanya di gua latea, kuburan nenek moyang orang pamona lainnya terdapat di gua pamona yang letaknya persis di tepi danau Poso, Tangkaboba nama gua itu, gua ini memiliki 12 ruang. Mengunjungi gua-gua kuburan leluhur suku asli Poso membuat pikiran lepas dari kepenatan rutinitas kerja sehari-hari.apalagi sejauh mata memandang, kita dikelilingi danau poso yang bening dan hawa udara dingin yang segar. 




 Sumber : ww.posokab.go.id

Sabtu, 27 Juli 2013

ARTI DARI " TADULAKO "

Kata "Tadulako" berasal dari dua kata "Tadu" atau "Padu" berarti "Tumit" dan "Lako" atau "Dako" yang berarti sumber atau asal muasal. Sehingga pengertian Tadulako bermakna "Tumpuan yang berasal atau bersumber pada tumit". Kemudian pengertian ini bermetamorfosis dan memunculkan makna yang lebih familiar "Pemimpin". Di sebuah dialog kesejarahan di Universitas Tadulako, Sulawesi Tengah yang merupakan satu rangkaian dengan acara PENTAS (Pekan Cinta Sejarah) gelaran Direktorat Jenderal Sejarah Purbakala (Ditjen Sepur), Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif beberapa waktu lalu. Salah satu pembicara yang juga dosen sejarah di Universitas itu mengungkapkan hal yang sama, bahwa Tadulako adalah pemimpin, panglima, atau orang-orang yang berjasa terhadap bangsanya. Tadulako bisa siapa saja, bangsawan, ketua adat, para ulama, bahkan masyarakat biasa yang pernah berjasa. Namun, untuk memperoleh gelar itu tidak semudah mengucapkan pengertiannya. Melainkan berdasarkan tahapan-tahapan tertentu yang berlaku di masyarakat pada masa itu. Ini tercatat dalam sejarah peradaban Tanah Kaili, suku banga asli bagian tengah Sulawesi. Bicara sejarah, rasanya kurang lengkap tanpa mengunjungi bukti peninggalannya. Kami pun tergerak untuk melihat langsung situs cagar budaya Sulawesi Tengah yang konon merupakan situs tertua yang ada diseluruh dunia. Meskipun dalam agenda kunjungan kami ke Kota Palu hanya mengikuti serangkaian acara Pentas; diskusi, seminar, pameran dan seremonial lainnya yang membosankan. Tampaknya keberuntungan berpihak pada kami, karena panitia menyetujui. Hari kedua, besok. Kami berenam akan berangkat. Saya dari Travel Club dan dua rekan sesama jurnalis serta dua pendamping dari pihak panitia Ditjen Sepur ditambah supir yang akan membawa mobil sewaan. *** Pagi itu mendung menutup langit, kemudian gerimis seolah ingin melunturkan niat kami mencari dua situs di Lembah Besoa, Tadulako dan Pokekea. Dengan tekad yang sudah bulat, kami semua sepakat tetap jalan meski medan yang dialui akan terasa berat. Wisata arkeologi. Mungkin ini istilah yang tepat untuk perjalanan kami. Pencarian sosok pemimpin purba peninggalan zaman megalith yang tersebar di Daerah Lore, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Menurut kabar, banyak situs cagar budaya tersebar di sana. Salah satunya adalah situs Tadulako. Sebuah patung batu (arca) silinder, mungkin dulunya merupakan gambaran seorang pemimpin. "Pada zamannya, arca megalith dianggap sebagai sebuah perwujudan terhadap pemujaan arwah nenek moyang yang dimuliakan masyarakat setempat. Biasanya penjelmaan sosok pemimpin atau yang dituakan dalam kelompoknya," kata Wawan, salah satu panitia pendamping yang ternyata berpendidikan S2 Arkeolog. Pencarian situs tentu jadi semakin menarik, karena diantara kami ada yang mengerti apa yang sedang kami cari. Situs Tadulako menjadi target utama. Selain informasi yang tertera di brosur pariwisata, informasi dari penduduk lokal pastinya akan lebih akurat. Maka sang supir membawa kami melalui jalur Sigi - Palolo - Taman Nasional Lore Lindu - Lembah Napu dan singgah di Desa Wuasa. Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan yang luar biasa. Bentangan alam yang begitu indah; bukit-bukit menghijau, hutan lebat, sawah ladang, dan perkebunan coklat silih berganti menghiasi jendela mobil kami. Jalan berliku, menanjak, dan sempit memaksa mobil yang kami tumpangi memeras tenaga. Sebelum sampai Lembah Napu kami bertemu wisatawan asing yang asik mengamati burung dengan teropongnya. Sulawesi Tengah ibarat surga bagi pengamat burung. Pasalnya disinilah Garis Wallace itu ada, garis hipotesa yang memisahkan wilayah geografi hewan. Disinilah habitat burung rangkong atau atau burung-burung paruh bengkok lainnya yang tidak akan ditemui pada bagian barat dunia. "Hutan di Indonesia bagus dan masih alami, tapi sayang penebangan hutan masih terjadi tanpa memikirkan ekosistem yang ada," kata Manfred, wisatawan asal Jerman yang sempat berbincang dengan kami di sekitaran Taman Nasional Lore Lindu. Lembah Napu terlihat membentuk lanskap luas dibawah sana, kendaraan kami berlanjut menuruni bukit. Tiba di penginapan sore hari. Perlu diketahui di Desa Wuasa ini listrik hanya menyala sekitar enam jam. Menyala pukul 18.30 hingga 23.30 saja. Hampir tidak ada aktivitas di malam hari, kecuali terlelap dalam gelap. Sungguh pengalaman berwisata yang amat berkesan. *** Udara dingin membangunkan kami dari mimpi, bersiap pergi menuju Doda, sampai akhirnya tiba di Lembah Besoa. Setelah dua jam lebih melewati jalan sempit dan beberapa desa kami temukan plang bertuliskan "Situs Tadulako 1 km". Namun kendaraan tidak bisa mencapai situs pertama yang kami temukan. Terpaksa harus melanjutkan dengan berjalan kaki satu kilometer melalui jalan setapak dan mencari-cari lokasi yang tidak pasti. Biasanya sebuah situs akan berada di tempat yang tinggi. Pengalaman arkeolog itulah yang menjadi patokan kami harus berjalan ke arah mana. Akhirnya kami temukan Situs Tadulako yang menjadi ikon pariwisata Sulawesi Tengah. Sebuah arca yang menyendiri terbuat dari batu granit, berdiri tegak di tengah alam yang luas dan indah. Dengan tinggi 196 centimeter dan diameter 60 centimeter batu Tadulako menghadap ke arah utara, diartikan sebagai tempat datangnya arwah nenek moyang. Sayangnya sampai sekarang belum ada kepastian dari para arkeolog yang menyebutkan kapan awal mula situs ini dibuat. Hanya ada hipotesa global yang menyebutkan megalith yang ada di Sulawesi Tengah diperkirakan berasal 3.000 SM (sebelum Masehi), dan yang termuda dibuat sekitar 1.300 SM. Ada juga anggapan dari para peneliti bahwa megalith Lore merupakan yang tertua di dunia. Tampaknya tetap menjadi misteri sampai ada penelitian lanjutan dari Balai Arkeolog Manado yang berwenang terhadap situs-situs di wilayah ini. Setelah puas mengamati dan berfoto, perjalanan kami berlanjut mencari situs kedua, Pokekea. Ternyata lokasinya pun masih tersembunyi karena tidak ada petunjuk yang jelas bagi kami. Tetapi tetap kami paksakan untuk terus mencari hingga desa paling akhir di Lembah Besoa. Beruntung kami bertemu dengan Mandela, seoarang anak desa yang bersedia menunjukan jalan. Lagi-lagi harus berjalan kaki untuk sampai ke lokasi, dan kali ini terasa lebih jauh. Situs Pokekea berbeda dengan Tadulako, di sini banyak peninggalan batu-batu purba. Rata-rata berbentuk Kalamba (batu kubur), bentuk silinder yang bagian dalamnya dilubangi menyerupai bentuk tong besar dengan ukuran tinggi bervariasi antara 1,5 meter sampai 2,7 meter, dan memiliki diameter antara 1 meter hingga 1,8 meter tempat penyimpanan orang yang sudah mati. Tutupnya menunjukan jumlah yang terkubur dengan pahatan berbentuk manusia sedang telungkup atau ukiran wajah. Menurut data yang diperoleh dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Tengah, situs megalith Pokekea terdiri dari 8 buah Kalamba, 4 buah Arca, 14 buah batu Dokon, 18 buah batu Kerakel, 5 buah Dolmen, 5 buah Altar Batu, 2 buah batuTetralit, 1 buah batu bergores, dan 2 buah Palung Batu, yang tersebar dalam satu komplek. Puas sudah kami melihat langsung Benda Cagar Budaya (BCB) peninggalan zaman purba, meski cuma dua situs yang berhasil kami datangi. Sebenarnya masih banyak situs yang belum atau baru ditemukan. Bahkan menurut cerita seorang anak di daerah situs ada satu Kalamba yang masih terdapat tulang belulang di dalamanya. Mungkin baru saja ditemukan arkeolog dan belum sempat diangkat. Tapi waktu tidak memungkinkan untuk melakukan pencarian lagi, karena perjalanan pulang melalui Trans Sulawesi Poso - Parigi - Palu masih memakan waktu sehari semalam. Wisata yang cukup melelahkan dan berkesan. Akomodasi dan Transportasi Hanya ada dua penginapan di Lembah Napu yang menjadi tempat persingahan para wisatawan yang berkunjung ke situs megalith atau pengamatan burung. Penginapan Sendy dan Monalisa, keduanya bertarif Rp 75.000 - Rp 100.000. Sebaiknya memilih Penginapan Sendy karena unggul akan fasilitas, diantaranya genset untuk menambah pasokan listrik yang hanya menyala 6 jam dan rumah makan. Untuk transportasi sebenarnya ada sebuah minibus yang melayani trayek Palu - Lembah Napu, dan Lembah Napu - Poso. Jika dari Palu, naik angkutan ini bisa dari terminal Petobo dengan tarif sekitar Rp 50.000. Namun untuk berwisata yang menantang ini sebaiknya menyewa kendaraan dengan Tarif Rp 350.000 sudah termasuk supir, akan sangat membantu dan memudahkan menjangkau situs. 

Kata Tadulako juga dijadikan sebagai nama Desa yang terletak Provinsi Sulawesi Selatan di Kabupaten Luwu Timur, Kecamatan Tomoni, Desa ini memiliki luas wilayah 15,45 Km2, dan memiliki hampir semua warga masyarakatnya adalah suku pamona, serta Kata Tadulako juga di jadikan nama lapangan sepak bola sampai saat ini.



Sumber: Majalah Travel Club n Cyberindo Aditama

SEJARAH TADULAKO SULAWESI TENGAH - TANAH KAILI - KERAJAAN TADULAKO - UPACARA MOLUMU

Tadulako para hulubalang kerajaan yang bertugas memukul gendang di kuburan, dan melakukan tugas penganon. Pihak-pihak yang terlibat Pihak-pihak yang terlibat dalam upacara molumu dan movara tersebut terdiri dari: Seluruh anggota keluarga, ketua-ketua dewan adat, kerajaan dan pejabat eksekutif kerajaan, Tadulako (pengawal raja/kerajaan), dan anggota masyarakat pada umumnya. Tugas-tugas mereka di samping melakukan tugas-tugas seperti yang disebutkan di atas, juga membantu keluarga dalam melayani tamu-tamu yang datang selama masa molumu/movara tersebut seperti memasak, juga ikut hadir untuk menyatakan rasa duka, di samping membawa pekasivia (bantuan berupa makanan, atau keperluan-keperluan konsumsi lainnya selama masa berkabung tersebut). Tempat upacara molumu dan movara tersebut di dalam rumah kediaman raja atau di rumah adat kerajaan yaitu Baruga atau Bantaya, sesuai keputusan Libutotua nungapa (musyawarah orang tua adat). Perlengkapan Upacara Selama masa molumu dipersiapkan berbagai macam perlengkapan upacara, baik yang digunakan pada masa molumu atau perlengkapan-perlengkapan lain yang digunakan selama masa tersebut. Perlengkapan selama upacara molumu ialah: peti mayat (lumu); kipas (vara); dekorasi, semacam janur yang dibuat dari daun pandan dan bunga kemboja, yang dijadikan penghias lumu (peti mayat) serta mayang pinang dan daun-daun kelapa. Perlengkapan lainnya ialah : ula-ula, jajaka, gimba (gendang), pekabalu (kain pengikat kepala), kepala manusia, dan payung. Ula-ula ialah dua pasang orang-orangan yang dibuat dari kain berwarna kuning tanpa kepala. Keduanya dipasang pada dua tiang di depan rumah pintu pagar masuk seperti bendera, yang memasang ula-ula tersebut, ialah orang tua adat, melalui suatu upacara tertentu. (Ula-ula adalah simbol kebangsawanan. Sebab yang berhak memasang ula-ula dalam setiap pesta upacara adat hanya keluarga bangsawan saja). Payung disiapkan 2 buah dan dipasang terbuka di samping ula-ula yang senantiasa siap dijaga oleh seorang petugas yang disebut kayu mpayu (tiang payung), petugas ini adalah anggota raja/bangsawan yang meninggal tersebut. Payung tersebut pada bagian atasnya dilapis dengan kain putih, dan dililitkan di atas puncak payung tersebut. Jalannya Upacara Jalannya upacara molumu selama masa (menyemayamkan jenazah dalam peti) tersebut terdiri dari beberapa kegiatan. Pertama, ialah membuat lumu (peti mayat) yang dibuat dari pohon kapuk. Bagian atasnya dibuat dalam bentuk piramida dan pada sisi sekeliling lumu tersebut dihiasi dengan daun pandan dan bunga kemboja. Lumu tersebut dibuat oleh para tukang secara gotong-royong, dalam waktu satu hari sejak raja meninggal. Jenazah tersebut kemudian disimpan dalam peti (nilumu) pada hari kedua yang disaksikan oleh seluruh keluarga. Para ketua dewan hadat kampung bermusyawarah untuk menentukan dimana jenazah tersebut disemayamkan di antara dua alternatif yaitu di rumah kediaman atau di rumah adat yang disebut Baruga atau Bantaya. Selama jenazah tersebut disemayamkan, baik sebelum dan sesudah dimasukkan dalam peti, sepanjang siang dan malam diadakan upacara movara, sebagai salah satu rangkaian upacara molumu. Movara ialah upacara pengawalan jenazah oleh sejumlah 14 orang (ruampapitu) yang semuanya kaum wanita. Mereka duduk di samping kiri-kanan lumu masing-masing 6 orang, dan pada bagian kepala dan kaki lumu masing-masing 1 orang sambil mengipas dengan vara (kipas) yang dibuat dari kain putih dalam bentuk bundar telur. Maksud dan fungsi movara, pengipasan jenazah sebelum dan sesudah nilumu selain sebagai simbol dari suatu masa peristirahatan roh menanti saat penguburan, sekaligus sebagai simbol kebesaran upacara bagi para raja/bangsawan. Juga masa menunggu persiapan perlengkapan upacara penguburan yaitu kepala manusia. Pelaksanaan teknis upacara disebut topovara. Topovara (orang-orang yang bertugas mengipas jenazah) melakukan tugas secara bergantian, baik pada siang atau malam hari, selama masa nolumu atau sebelum jenazah dikuburkan. Mereka disebut kayu nuvara, artinya turunan dari orang-orang yang sejak dulu diberi tugas untuk itu. Upacara itu dikoordinir olen togura nungapa. Posisi duduk mengitari lumu tersebut yang diatur oleh adat. Bila yang meninggal tersebut seorang raja atau bangsawan, yang duduk pada bagian kepala jenazah adalah keturunan dari keluarga orang tua adat, sedang bila orang tua-tua adat meninggal dunia, yang duduk pada bagian kepala adalah anak-anak keluarga bangsawan. Tata cara pengipasan dari dua kelompok yang berbeda di sebelah kiri kanan Lumu tersebut-diatur berlawanan. Bila kelompok 6 orang sebelah kanan mengayun kipasnya ke kiri, maka kelompok 6 orang sebelah kiri mengayun kipasnya ke kanan. Demikian pula orang yang di kaki dan kepala status sosial antara yang duduk di bagian kepala dan kaki harus berbeda, yang duduk pada bagian kaki (Riayalaya) adalah orang biasa (To dea), sedang yang duduk di bagian kepala harus orang bangsawan. Setiap topovara masing-masing membawa vara dari rumahnya sendiri, di samping ada vara petombongi (vara sumbangan) dari hampir semua anggota keluarga atau orang tua adat yang berasal dari luar kampung. Topovara datang dengan sukarela dan dikoordinir oleh Ketua Adat. Masa movara ini berlangsung maksimal 40 hari 40 malam, yaitu selama masa molumu, kecuali bila kepala manusia hasil pengayauan lebih cepat tersedia/didapatkan oleh para Tadulako, maka masa movara atau molumu ini dapat dipersingkat, atas mufakat libu (musyawarah dewan adat). Salah satu acara yang penting ialah upacara Mentanginjaka, yaitu suatu upacara menangisi mayat dengan cara nompejala yaitu mengungkapkan kesedihan, rasa keharuan, dengan kata-kata yang isinya melukiskan kebaikan-kebaikan pribadi yang ditangisi, seakan-akan mereka belum patut ditinggalkan dan sebagainya. Orang yang diberi tugas tersebut ialah seorang tua perempuan yang dianggap ahli mengungkapkan suara hati masyarakat dengan tutur kata yang penuh kesedihan. Acara ini berlangsung pada siang atau malam hari, selama masa molumu/movara tersebut, sampai pada saat-saat jenazah/lumu tersebut telah siap diangkat ke kubur, yaitu pada saat orang-orang banyak berkumpul, atas permintaan Ketua dewan Hadat, dan menjelang mengantar jenazah ke kuburan. Maksud upacara ini ialah menggugah perasaan haru, dan menimbulkan perasaan berkabung atau berduka cita bagi masyarakat pada umumnya, dan menbangkitkan rasa simpati dan solidaritas dalam upaya mensukseskan upacara kebesaran raja tersebut di saat ditimpa musibah dengan sifat gotong-royong. Upacara lainnya ialah pamasangan Ula-ula (mompepeoko ula-ula) disertai pula dengan persiapan perlengkapan upacara lainnya yang disebut jalaka. Jalaka ialah seperangkat benda-benda tertentu, yang terdiri dari kepala 1 buah, benang kapas 10 gulung, pisang 1 sisir, 1/2 liter beras, yang diletakkan di atas sebuah bakul yang disebut pada. Jajaka ini disimpan di bawah 2 tiang ula-ula yang dipasang di halaman depan rumah, di pintu pagar rumah orang yang kematian tersebut. Di samping ula-ula tersebut dipasang pula 2 buah payung yang diberi lapis kain putih pada bagian atas kedua payung tersebut yang dijaga oleh kayu mpayu. Waktu pemasangan ula-ula tersebut pada pagi hari bila yang meninggal pada malam hari, dan atau saat sesudah orang meninggal bila pada siang hari. Ula-ula tersebut dipasang baik siang maupun malam hari selama upacara adat kematian belum selesai. Ula-ula adalah simbol kebangsawanan. Gendang atau gimba dipersiapkan 3 buah yang ditempatkan pada 3 buah tempat yaitu di rumah kematian, di rumah Ketua Dewan Hadat (to tua nuada), dan di pekuburan (ridayo). Selama masa molumu atau movara tersebut ketiga gendang tersebut ditabuh sepanjang hari baik siang maupun malam dijaga oleh petugas khusus. Gendang yang pertama kali ditabuh ialah yang ada di rumah kematian, dimulai oleh orang tua hadat, dan kemudian diserahkan kepada Tadulako atau todea (masyarakat umum). Namun gendang di pekuburan sepenuhnya tugas para Tadulako, di sini terkandung maksud bahwa petugas-petugas di sinilah yang diberi tugas mengayau (nangae). Mereka memakai pengikat kepala selebar destar dari kain putih. Upacara mengikat kepala tersebut disebut nekabalu, sedang alat penutup kepala tersebut disebut pekabalu. Pakaian tersebut mengandung makna tersendiri, yaitu selama mereka masih mekabalu, sekalipun raja sudah dikebumikan, mengisyaratkan bahwa tugas mereka.mengayau belum berhasil dan masih terus berjalan. Mereka beranggapan bahwa pengabdian mereka terhadap raja dan kerajaan belum selesai, dan masih terus diminta oleh adat kerajaan. Bila batas waktu 40 hari selesai, dan sedikit kemungkinan untuk mendapatkan kepala manusia di luar lingkungan kerajaan, maka penggantinya adalah kepala seorang budak sahaya atau budak turunan yang disebut batua nggutu. Rangkaian kegiatan upacara tersebut di atas bukan menggambarkan tahap-tahap upacara melainkan suatu rangkaian kegiatan upacara yang dilaksanakan selama masa persemayaman jenazah yaitu sejak nienghembuskan napas terakhir sampai menjelang upacara penguburan. Pantangan-pantangan yang berlaku selam jenazah disemayamkan, yaitu: Pantang memasak/membuat minyak kelapa dalam rumah dan harus memasak di tanah sebab bau minyak kelapa dapat mengganggu jenazah di dalam peti mayat yang disimpan dalam rumah atau Baruga/Bantaya. Pantang membuat dan memasak sayur nangka (ganaga) dalam rumah ketuarga si mayat karena selalu mogana dalam arti selalu ada orang yang meninggal dalam kampung itu. Pantang membuat sayur nangka karena nama mogana identik dengan nama nangko dalam bahasa Kaili, yaitu ganaga sama dengan kata gana. Pantang memasak sayur kelor bagi seluruh warga desa selama masa jenazab disemayamkan karena mengakibatkan banyak orang yang meninggal dunia, selalu gugur seperti daun kelor. Daun kelor yang sudah dipetik, mudah layu dan gugur, terpisah dari tangkainya, suatu sifat yang ditakuti bila manusia mengalami keadaan yang demikian. Masyarakat umum pantang menggoreng sesuatu dalam rumah dan harus di tanah karena dapat mengganggu jenazah. Pantang bagi masyarakat desa tersebut menenun kain dalam rumah karena menggangu rob jenazah selama disemayamkan. Upacara yang telah hilang ialah upacara Molumu dan Mangae. Molumu dan Mangae dua kegiatan yang sangat berkaitan. Molumu dalam arti menyemayamkan jenazah dalam peti dalam waktu yang cukup lama, maksudnya memberi kesempatan kepada Tadulako untuk mengayau (mangae) mencari kepala manusia. Lama tidaknya jenazah disemayamkan bergantung cepat tidaknya kepala manusia itu didapatkan oleh Tadulako. Hal ini hanya berlaku bagi raja yang memegang tampuk kekuasaan. Penganut agama (Islam) dan perubahan stratifikasi sosial dalam masyarakat mendesak hilangya upacara ini sejak zaman Belanda menjelang masa kemerdekaan. Upacara lainnya hingga sekarang ini masih tetap terpelihara ialah Movara sekalipun waktunya terbatas, yaitu sejak seseorang meninggal sampai sebelum jenazah diantar ke kubur. Perbedaan-perbedaan yang prinsipil dalam upacara kematian antara raja dan bangsawan antara lain: bagi raja (yang memegang tampuk kekuasaan) pada zaman dulu, adalah : Upacara Molumu (menyemayamkan jenazah di dalam peti) sedang kaum bangsawan tidak; lamanya jenazah disemayamkan cukup lama, sedangkan kaum bangsawan lebih singkat, sama dengan orang biasa (1 sampai 2 hari saja) tanpa peti jenazah; memerlukan kepala manusia untuk dikuburkan bersama raja dari hasil pengayauan, sedangkan bangsawan tidak; raja dikuburkan dengan peti jenazah, sedangkan bangsawan tidak memakai dindingari (papan lebar segi empat panjang penutup liang lahat) seperti todea (orang banyak), tetapi mereka menggunakan penutup liang lahat bersegi tiga dari papan. 



Sumber : eka_boy@ovi.com. http://ekaboymaster.blogspot.com

Bahasa Pamona Terancam Punah

Seorang budayawan asal Poso di Sulawesi Tengah, Mernimus Taona, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap keberadaan Bahasa Pamona, yang menurut dia terancam punah akibat semakin jarang dipergunakan oleh penuturnya. "Itulah sebabnya saya mengatakan bahwa bahasa ini kemungkinan akan punah dalam waktu 15 tahun ke depan? kata dia dalam sebuah diskusi plularisme budaya di Poso. Bahasa Pamona merupakan bahasa yang pergunakan oleh Suku Pamona, salah satu penduduk asli di Kabupaten Poso yang mendiami bagian selatan wilayah tersebut. Bahasa ini sebelumnya merupakan bahasa daerah paling banyak dipergunakan oleh masyarakat di Kabupaten Poso karena Suku Pamona merupakan komunitas terbesar di daerah tersebut. Sementara bahasa daerah itu sekarang ini masih terlihat hidup di wilayah pedesaan, namun sebagian besar penduduk asli setempat cenderung menggunakan Bahasa Indonesia dan sebagian lagi mencampuradukannya dengan logat Manado. Menurut Taona yang juga Sekretaris Majelis Taruna Adat Kabupaten Poso, salah satu penyebab mulai kurangnya penutur Bahasa Pamona dikarenakan para orang tua jarang mengajarkan bahasa daerah ini kepada generasi di bawahnya. Ia menambahkan, banyak generasi muda di wilayah Poso dewasa iniyang tidak mengetahui simbol dan semboyan daerahnya sendiri. Sementara itu, Abdurrahman Balie yang Ketua Dewan Adat Kecamatan Poso Kota Utara, dalam diskusi kebudayaan itu, menyatakan kalau salah satu kendala dalam melestarikan bahasa dan budaya Pamona adalah kebudayaan bertutur pada masa lalu tidak dibarengi dengan pencatatan yang dilakukan oleh generasi muda saat ini. Fenomena hilangnya Bahasa Pamona itu, menurut dia, ditandai dengan semakin kurangnya penggunaan bahasa daerah ini pada anak dan remaja, terutama yang menetap di wilayah perkotaan (ibu kota kabupaten dan kecamatan). Tapi, bagi Dr Cristian Tindjabate, akademisi dari Universitas Tadulako yang juga hadir dalam acara tersebut, menyatakan bahwa semakin memudarnya bahasa dan kebudayaan masayarakat asli di Kabupaten Poso saat ini dikarenakan oleh berbagai masalah. Kurikulum Pendidikan Santo, seorang tokoh masyarakat dari Dewan Adat Kabupaten Poso, yang juga hadir pada acara ini, mengusulkan perlunya memasukkan mata pelajaran Bahasa Pamona ke dalam sistem pendidikan di Kabupaten Poso, untuk mengantisipasi kemungkinan hilangnya bahasa daerah tersebut. Menurut Santo, dimasukkannya Bahasa Pamona sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah merupakan upaya untuk melestarikan kebudayaan milik daerahnya, sekaligus memperkuat kebudayaan nasional bangsa Indonesia. Namun, menurut seorang pejabat pada Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Poso, Rolex Taropo, pihaknya sejak beberapa tahun lalu sudah merancang sebuah kurikulum pendidikan bahasa Poso untuk dimasukkan ke dalam mata pelajaran muatan lokal. Akan tetapi, kata dia, rencana itu sulit dilaksanakan, dikarenakan tidak semua tenaga pendidik di lapangan memiliki kemampuan berbahasa daerah yang cukup untuk melaksanakan kurikulum tersebut. 



Sumber : www.lampung-news.com

CERITA RAKYAT SULAWESI TENGAH " TADULAKO BULILI "

Di desa suatu desa bernama Bulili hiduplah 3 orang tadulako atau panglima perang. Mereka masing-masing bernama: Bantaili, Makeku dan Molove. Mereka terkenal sangat sakti dan pemberani. Tugas utama mereka adalah menjaga keselamatan desa itu dari serangan musuh. Pada suatu hari Raja Sigi mempersunting seorang gadis cantik Bulili. Mereka tinggal untuk beberapa bulan di desa itu hingga gadis itu mengandung. Pada saat itu Raja Sigi meminta ijin untuk kembali ke kerajaannya. Dengan berat hati perempuan itu melepas suaminya. Sepeningal Raja Sigi itu, perempuan itu melahirkan seorang bayi. Pemuka-pemuka Bulili lalu memutuskan untuk mengirim utusan untuk menemui suami perempuan itu. Utusannya adalah tadulako Makeku dan Bantaili. Sesampainya di Sigi, mereka bukannya disambut dengan ramah. Tetapi dengan sinisnya raja itu menanyakan maksud kedatangannya. Mereka pun menguraikan maksud itu. Mereka menyampaikan bahwa mereka diutus untuk meminta padi di lumbung untuk anak raja yang baru lahir. Dengan congkaknya raja Sigi menghina mereka. Ia lalu berkata pada Tadulako itu: "kalau mampu angkatlah lumbung padi di belakang rumah." Dengan marahnya Tadulako Bantaili mengeluarkan kesaktiannya. Ia pun lalu mampu memanggul lumbung padi besar yang dipenuhi oleh padi. Biasanya lumbung kosong saja hanya akan bergeser kalau diangkat oleh puluhan orang. Makeku berjalan di belakang Bantaili untuk mengawal lumbung padi itu. Dengan sangat geram Raja Sigi memerintahkan pasukannya untuk mengejar mereka. Pada suatu tempat, terbentanglah sebuah sungai yang sangat lebar dan dalam. Dengan mudahnya mereka melompati sungai itu. Meskipun sambil menggendong lumbung padi, Bantaili berhasil melompatinya tanpa ada banyak ceceran beras dari lumbung itu. Sedangkan pasukan yang mengejar mereka tidak berani melompati sungai yang berarus deras. Mereka akhirnya kembali ke Sigi dengan kecewa. (Diadaptasi secara bebas dari Drs. A, Ghani Ali dan Kawan-kawan, "Tadulako Bulili," Cerita Rakyat Sulawesi Selatan, Jakarta: Departemen P dan K, 1981, 113-118).




 Diperoleh dari "http://www.budaya-indonesia.org/iaci/Tadulako_Bulili"

Rabu, 12 Juni 2013

Tari Torompio Daerah Sulawesi Tengah

“Torompio” adalah ungkapan dalam bahasa Pamona, Sulawesi Tengah. Ungkapan ini terdiri atas dua kata, yakni “toro” yang berarti “berputar” dan “pio” yang berarti “angin”. Jadi, “torompio” berarti “angin berputar”. Makna yang terkandung dalam ungkapan tersebut adalah “gelora cinta kasih” yang dilambangkan oleh tarian yang dinamis dengan gerakan berputar-putar bagaikan insan yang sedang dilanda cinta kasih, sehingga tarian ini disebut torompio. Pengertian gelora cinta kasih sebenarnya bukan hanya untuk sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta, melainkan juga untuk semua kehidupan, seperti: cinta tanah air, cinta sesama umat, cinta kepada tamu-tamu (menghargai tamu-tamu) dan lain sebagainya. Namun, yang lebih menonjol ialah cinta kasih antarsesama remaja atau muda-mudi, sehingga tarian ini lebih dikenal sebagai tarian muda-mudi. Torompio dalam penampilannya sangat ditentukan oleh syair lagu pengiring yang dinyanyikan oleh penari dan pengiring tari. Tarian ini dahulu ditarikan secara spontan oleh para remaja dengan jumlah yang tidak terbatas dan dipergelarkan di tempat terbuka, seperti halaman rumah atau tempat tertentu yang agak luas. Para penontonnya muda-mudi yang berdiri dan membentuk lingkaran, karena tari ini didominasi oleh komposisi lingkaran dan berbaris. Peralatan dan Busana Kesenian Tari Torompio Daerah Sulawesi Tengah Peralatan musik yang digunakan untuk mengiringi tari torompio diantaranya adalah: Ganda (gendang); Nonggi (gong); Karatu (gendang duduk); dan gitar. Sedangkan, busana yang dikenakan oleh penari perempuan adalah: Lemba (blus berlengan pendek yang berhiaskan manik-manik); Topi mombulu (rok bersusun); Tali bonto (ikat kepala yang terbuat dai teras bambu dibungkus dengan kain merah sebesar 2 sampai 3 jari dan dihias dengan manik-manik; dan (4) kalung yang terbuat dari sejenis tumbuhan siropu atau dari batu. Sedangkan busana dan perlengkapan pada penari laki-laki adalah: Baju banjara (baju seperti teluk belanga yang diberi hiasan dari manik-manik); Salana (celana panjang yang berhias manik-manik); Siga atau destar; dan Salempa (kain untuk selempang). Selain peralatan musik dan busana bagi penarinya, tarian ini diiringi oleh beberapa buah lagu. Salah satu lagu yang dahulu biasa dinyanyikan pada masa Orde Baru adalah lagu Wati Ndagia. Lagu ini berisi pesan pemerintah untuk menggiatkan pembangunan. Berikut ini adalah terjemahan dari beberapa syair yang dilantunkan: Tumpah darahku yang kucintai tempat ibu bapaku dan aku dilahirkan. Poso Sulawesi Tengah sangat subur indah permai. Danaunya yang elok indah menawan yang takan kulupakan. Inilah kami anak-anak dari seberang akan bermain khas daerah kami. Pada pertemuan ini begitu indah kita bernyanyi, bersyair dengan rasa yang sesungguhnya. Pembangunan negara kita ini telah dirasakan sampai ke pedesaan. Wahai teman-teman, kita seirama dalam pembangunan ini. Serasi selaras pertemuan kita ini melambangkan persatuan kita. Budaya yang datang dari luar datang di negeri kita dan filter bagi bangsa kita adalah Pancasila. Ingat wahai kawan, tahun depan adalah pesta nasional kita perlihara keamanannya. Repelita adalah perjuangan bangsa sama kita laksanakan. Hapuskan rongrongan baik dari luar maupun dari dalam. Masyarakat adil dan makmur yang diimpikan bersama, bersatulah dalam perjuangan agar tercapai tujuan ini. Kekuatan adil dan makmur yang diimpikan bersama, bersatulah dalam perjuangan agar tercapai tujuan ini. Kekuatan harapan bangsa melalui kerja keras jeli dalam tindakan agar nyata dan tercapai cita-cita bangsa. Dengan selesainya permainan ini kami mohon diri sebab pertemuan yang begitu indah membuat kesan yang tak terlupakan. Kalung kenangan akan kutinggalkan sebagai lambang persatuan kita. Selamat tinggal wahai kawan, jangan lupa pesan pemerintah, sukseskan pembangunan di segala bidang, (baik siang dan malam). Pertunjukan Kesenian Tari Torompio Daerah Sulawesi Tengah Pertunjukan tari torompio diawali dengan gerakan linggi doe atau panggilan buat para penari. Dalam linggi doe para penari akan masuk ke pentas dari dua arah. Penari pria dari arah kiri dan wanita dari kanan. Selanjutnya, mereka bertemu dalam satu barisan dan kemudian berpisah membentuk satu baris memanjang untuk melakukan gerakan penghormatan. Setelah itu, disusul dengan gerakan mantuju ada. Dalam gerakan ini penari membentuk bulatan besar kemudian bulatan kecil, dengan maksud menyampaikan pesan bahwa mereka anak-seberang akan mempertunjukkan tari torompio. Setelah introduksi selesai, maka tarian dilanjutkan dengan gerakan masinpanca, yaitu para penari bertemu untuk mencari pasangan masing-masing sambil menyanyikan lagu yang menceritakan indahnya pertemuan tersebut. Kemudian, penari pria akan membuat gerakan-gerakan yang seakan merayu penari wanita. Gerakan ini disebut mencolodi. Dalam mencolodi ini lagu yang dibawakan syairnya menceritakan bahwa pertemuan antara penari pria dan wanita melambangkan persatuan di antara mereka. Setelah gerakan moncoldi selesai, maka dilanjutkan dengan gerakan mompalakanamo dan mosangko lima. Pada gerakan mompalakanamo penari dalam posisi berhadapan sambil menyanyikan syair yang menceritakan pertemuan ini sangat indah, berkesan dan tak dapat dilupakan. Sedangkan, gerakan selanjutnya yaitu mosangko lima, penari pria menyematkan seuntai kalung kepada penari wanita dan diteruskan dengan berjabat tangan sebaga ungkapan eratnya persatuan. Kemudian, dilanjutkan dengan ucapan selamat tinggal yang ditandai dengan lambaian tangan. Pada masa Orde Baru, saat melambaikan tangan tersebut digunakan juga untuk menyampaikan pesan pemerintah kepada para penonton, yang berisi tentang ajakan untuk mensukseskan pembangunan di segala bidang.  



Sumber: fajarindra.web.id

Sabtu, 08 Juni 2013

Datu Pamona ( Cerita Rakyat )



Dahulu kala, di Danau Pamona, Sulawesi Tengah terdapat sekelompok manusia yang masih sangat sederhana. Namun walau telah menetap, mata pencaharian mereka masih seperti kelompok-kelompok nomaden yang hidup dari hasil berburu dan meramu tumbuh-tumbuhan di sekitarnya. Dengan berbekal senjata parang, tombak, panah dan sumpitan para pria dari kelompok ini berburu binatang-binatang yang berada di sekitar Danau Pamona, seperti rusa, babi hutan, pelanduk, ikan dan bahkan burung. Sedangkan para wanitanya mengambil buah-buahan dan dedaunan untuk diramu menjadi bahan makanan.

Suatu hari, perkampungan kelompok manusia ini didatangi oleh tujuh orang Hindu yang datang dari seberang lautan. Ketujuh orang Hindu ini adalah para ahli pembuat patung dari batu dan juga pelukis. Kedatangan mereka adalah untuk mencari daerah yang subur untuk dijadikan tempat tinggal. Sebenarnya, sebelum sampai di daerah Pamona mereka sempat berlabuh di Sungai Poso. Namun karena merasa tidak cocok dengan daerah tersebut, maka mereka lalu meneruskan berlayar ke hulu sungai hingga tiba di daerah Pamona.

Sesampai di Pamona mereka disambut hangat oleh penduduk di sana, sehingga mereka tertarik untuk menetap. Disamping keramahan penduduknya, ketertarikan mereka untuk menetap adalah karena daerah di sekitar Danau Pamona sangat subur jika dibandingkan dengan daerah lain di sekitarnya. Setelah beberapa waktu tinggal di Pamona dan sempat pergi pula ke daerah Napu dan Bada, akhirnya mereka memutuskan pulang ke daerahnya untuk mengajak sanak saudara beserta keluarga-keluarga Hindu lainnya menetap di Pamona.

Singkat cerita, sejak kedatangan orang-orang Hindu tersebut daerah Pamona menjadi ramai. Para pendatang tersebut tidak hanya mengajari penduduk setempat cara membuat lukisan dan patung saja, melainkan juga cara bercocok tanam. Penduduk asli Pamona pun secara berangsur-angsur mulai beralih mata pencaharian dari pemburu dan peramu menjadi petani.

Lama-kelamaan, baik penduduk asli maupun pendatang mulai menyebar ke daerah Bada dan Napu. Dan, karena telah menjadi semakin ramai, maka sedikit demi sedikit mulai timbul perselisihan diantara mereka terutama mengenai batas tanah yang digunakan untuk bercocok tanam. Untuk itu, mereka kemudian mengadakan musyawarah agar masalah-masalah yang timbul antar sesama warga dapat diselesaikan. Dan, dalam musyawarah tersebut akhirnya disepakati untuk mengangkat sorang pemimpin diantara mereka sebagai “penegak hukum” agar dapat mengatur kehidupan warga Pamona.

Namun, dalam mencari seorang pemimpin yang berwibawa, arif, dan bijaksana tidaklah mudah. Memang ada beberapa orang di antara mereka yang mencalonkan diri sebagai pemimpin, tetapi karena syarat yang ideal untuk menjadi pemimpin tidak terpenuhi, maka masyarakat pun menolaknya.

Dalam kebimbangan menentukan siapakan yang cocok menjadi pemimpin diantara mereka tersebut, tiba-tiba datang dua orang pemuda berbadan tegap dan berkulit sawo matang yang merupakan anak kandung raja Hindu. Sebenarnya mereka berjumlah tiga orang, namun yang tertua telah menetap di Sigi untuk menjadi raja di daerah itu. Sementara yang dua orang lagi diutus untuk menetap di Pamona dan Luwu.

Selama beberapa minggu kedua pemuda itu menetap dan bergaul dengan masyarakat Pamona. Mereka merasa terkesan atas keramah-tamahan penduduk Pamona. Selain itu, mereka juga merasa betah karena di daerah tersebut tinggal orang-orang Hindu yang berasal dari kerajaan yang sama dengan mereka.

Setelah dirasa cukup lama berdiam di Pamona, orang yang paling muda segera melanjutkan perjalanan ke Luwu. Ia diantar oleh 6 orang pemuda Pamona dengan menggunakan sebuah perahu melalui Danau Poso menuju ke Tandompomuaka, lalu menyeberang ke Kuala Kodina. Sesampai di Kuala Kodina, tiga orang yang mengawalnya kembali lagi ke Pomuna, sedangkan yang lainnya meneruskan perjalanan menuju Luwu. Setelah sampai di daerah Luwu, pemuda ini kemudian menetap dan akhinya menjadi raja Luwu.

Sementara pemuda yang satunya lagi yang bernama Lelealu tetap tinggal di Pamona. Lelealu adalah seorang pemuda yang arif, bijaksana dan penuh wibawa, sehingga lama-kelamaan masyarakat menganggap bahwa dia dapat dan layak untuk dijadikan sebagai pemimpin mereka. Dan, agar lebih afdol sebagai seorang pemimpin maka Lelealu pun kemudian dijodohkan dengan gadis setempat yang bernama Monogu.

Setelah menikah, Lelealu kemudian diangkat menjadi raja Pamona dengan gelar Datu Pamona-Rombenunu. Datu Pamona pun kemudian dibuatkan sebuah istana yang disebut Langkanae oleh masyarakat Pamona sebagai tempat tinggal dan juga tempat ia memerintah negeri Pamona.




Sumber:
Diadaptasi bebas dari
Proyek Penerbitan dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1981. Cerita Rakyat Sulawesi Tengah. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, DepartemenPendidikan dan Kebudayaan.

Kisah Para Pahlawan Tana Poso


Sejarah adalah milik para pemenang. Karena itupula catatan tentang pejuang dan pahlawan di suatu wilayah adalah catatan yang dibuat oleh pemenang. Pada akhirnya catatan sejarah tentang pejuang Tana Poso tidak dibicarakan, bahkan dipinggirkan hampir lenyap. Upaya untuk mendekonstruksi sejarah Poso menurut tutur masyarakat akar rumput menemukan kisah perjuangan luar biasa yang menggambarkan bagaimana Tana Poso dipertahankan, diperjuangkan.

Wilayah ini disebut Poso pada abad ke 12. Adalah kisah pejuang Tana Poso-lah yang menggambarkan bagaimana Tana Poso menjadi kekuatan yang memiliki makna mendalam bagi komunitas yang mendiaminya selama berabad-abad.

Islam adalah agama yang pertama masuk di wilayah ini, yakni di Wotu pada tahun 1583, sementara Misionaris Kristen (Kruyt) masuk ke wilayah pedalaman pada tahun 1892 (Pertemuan Islam dan Kristen yang harmonis dan indah dimulai saat Kruyt diterima dan diberikan petunjuk bahkan diantarkan oleh Baso Ali – sekarang keturunan keluarga Odjobolo, tokoh Islam, ke wilayah pedalaman untuk menyebarkan agama Kristen).

Namun kedatangan Kruyt tidak disambut oleh penguasa Wotu. Hal ini pertama-tama karena hubungan antara Wotu dan Poso adalah hubungan yang sederajat, tidak saling menguasai atau menundukkan. Wotu memiliki wilayah kedaulatan tersendiri, demikian pula Poso dan demikian pula Luwu. Hubungan antara ketiga wilayah ini saat itu saling mengakui dan menghargai wilayah kedaulatan masing-masing. Namun, bila Poso memiliki urusan yang berkaitan dengan Luwu, Poso akan mengurusnya melalui Wotu. Demikian pula bila Luwu memiliki urusan dengan Poso maka akan melalui Wotu. Kesepakatan untuk saling melindungi bahkan disimbolkan dengan penanaman bambu kuning di Korobono dan biji mangga di Tanumbeaga (sekarang di atas Desa Taripa). Bambu kuning dan biji mangga ini menjadi simbol satunya Luwu dan Poso (baca:Pamona).
Penolakan Luwu atas permintaan Kerajaan Belanda disambut dengan melakukan serangan besar-besaran ke Wotu. Macoa Wotu ditangkap dan dibawa ke Jakarta. Hingga saa tini tidak pernah ada kisah yang terdengar pasca penangkapan Macoa Wotu yang mempertahankan kesepakatan kedaulatan. Penangkapan Macoa Wotu menimbulkan perlawanan di berbagai wilayah di Tana Poso. Yang terkenal adalah perlawanan Tabatoki di Pebato, perlawanan Tompayau di Kandela dan perlawanan Umanasoli di Peore ( bersama dengan Raja Mori, Marunduh).

Kisah perlawanan Tampayau dikenal paling heroik.
Meskipun memiliki pasukan gerilya rakyat setempat dalam jumlah yang kecil, Tampayau menolak menyerahkan diri. Kolonial Belanda tidak pernah berhasil menangkap Tampayau. Tampayau dipercaya memiliki kekuatan khusus yang membuatnya tetap bertahan hidup. Untuk menundukkan Tampayau yang dianggap paling merugikan, kolonial Belanda memakai siasat. Kerajaan Belanda meminta pimpinan Tana Poso (setelah melalui kesepakatan) untuk memberitahukan kepada Tampayau bahwa akan diadakan perundingan perdamaian.Pertemuan perundingan perdamaian ini mensyaratkan Tampayau datang sendirian dengan tidak membawa perkakas perang. Karena diperintahkan oleh pimpinan Tana Poso saat itu dan mendengar bahwa akan ada perundingan damai, Tampayau menyepakati pertemuan tersebut. Tampayau menghadiri rencana perundingan perdamaian dengan hanya membawa serta satu orang tukang dayung perahu.

Siasat perundingan kolonial Belanda ini berhasil. Datang dengan damai, Tampayau ditangkap dan diseret untuk dibunuh. Setelah dilucuti seluruh badan, Tampayau diseret masuk ke wilayah Tandobone untuk dibunuh. Namun dikisahkan, prajurit kolonial Belanda yang menyeret Tampayau kelelahan dan tertidur saat sedang beristirahat di bawah sebuah pohon. Tampayau berusaha melepaskan ikatannya dan bergerak cepat melawan prajurit yang terbangun, membunuh belasan prajurit.Perlawanan Tampayau membuat kaget para prajurit, lalu Tampayau dihujani peluru.Bahkan setelah gugur karena terjangan peluru, tubuh Tampayau dipotong-potong kecil. Namun kisah Tampayau telah menunjukkan perlawanan besar untuk mempertahankan Tana Poso, menolak tunduk.Tugu di Tandobone, Pamona, menjadi tanda keberadaan Tampayau.

Kemerdekaan yang diraih Republik ini adalah karena perjuangan Tampayau dan Tampayau-Tampayau lain di berbagai wilayah di Tana Poso. Makna amanat perjuangan kemerdekaan inimenempatkan visi rakyat untuk: "menyelamatkan semuanya", Rakyatnya, tanahnya, pulaunya, lautnya (tentu didalamnya hutan, tambang, sungai, air) dari penguasaan dan penaklukan (siapapun, atas nama apapun), lihat stanza 2 dan 3 lagu Indonesia Raya yang tidak lagi dinyanyikan.




RUMAH ADAT SULAWESI TENGAH



Di Sulawesi Tengah, tempat tinggal penduduk disebut Tambi. Rumah ini merupakan tempat tinggal untuk semua golongan masyarakat.
Bentuk rumah ini segi persegi panjang dengan ukuran rata-rata 7x5 m2, menghadap ke arah utara-selatan, karena tidak boleh menghadap atau membelakangi arah matahari. Sekilas konstuksi rumah ini seperti jamur berbentuk prisma yang terbuat dari daun rumbia atau ijuk.
Keunikan rumah panggung ini adalah atapnya yang juga berfungsi sebagai dinding. Alas rumah tersebut terdiri dari susunan balok kayu, sedangkan pondasinya terbuat dari batu alam. Akses masuk ke rumah ini melalui tangga, jumlahnya berbeda sesuai tinggi rumahnya. Tambi yang digunakan masyarakat biasa memiliki anak tangga berjumlah ganjil dan untuk ketua adat berjumlah genap.
Tiang-tiang penopang rumah ini terbuat dari kayu bonati. Di dalamnya hanya terdapat satu lobona (ruangan utama) yang dibagi tanpa sekat dan memiliki kamar-kamar, hanya pada bagian tengah lobona terdapat rapu (dapur) yang sekaligus menjadi penghangat ruangan ketika cuaca dingin. Penghuninya tidur menggunakan tempat tidur yang terbuat dari kulit kayu nunu (beringin).
Di sekeliling dinding rumah ini membentang asari (para-para) yang serbaguna,  bisa dijadikan tempat tidur yang berpembatas, tempat penyimpanan benda pusaka atau benda-benda berharga lainnya.
Sebagai hiasan, biasanya rumah ini memiliki ukiran di bagian pintu dan dindingnya. Motif ukiran tersebut terutama berbentuk binatang atau tumbuh-tumbuhan. Terdiri atas ukiran pebaula (kepala kerbau) dan bati (ukiran berbentuk kepala kerbau, ayam dan babi). Pebaula meurpakan simbol kekayaan, dan bati merupakan simbol kesejahteraan dan kesuburan.
Pada motif tumbuhan (pompininie) biasanya terbuat dari beragam kain kulit kayu berwarna-warni, dibentuk menjadi motif bunga-bunga yang kemudian diikat dengan rotan. Kain kulit kayu ini merupakan hasil tenunan tradisional dari kulit kayu nunudan ivo.  Konon, pompeninie ini memiliki kekuatan magis yang dapat menangkal gangguan roh jahat.
Karena Tambi hanya memiliki satu ruang utama, maka ia memiliki bangunan tambahan yang tidak dapat dipisahkan, yaitu Buho (terkadang disebut gampiri). Bangunan yang memiliki dua lantai ini,  berfungsi sebagai tempat musyawarah atau menerima tamu (lantai bawah), dan sebagai lumbung padi (lantai atas). Karena fungsinya sebagai tempat menerimatamu, maka letaknya tak jauh dari Tambi.
Bangunan lainnya yang sangat sederhana disebut Pointua, yaitu tempat menumbuk padi, dimana terdapat lesung yang disebut iso berbentuk segi empat panjang bertiang 4 buah dan kadang-kadang terdapat pula lesung bundar yang disebut iso busa
Gambar :

Ritual Leluhur Suku Pamona SUL-TENG


KEBIASAAN mengubur jenazah di dalam gua bukan hanya dilakukan penduduk Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Gua Latea, sekitar 57 kilometer arah Selatan Kota Poso, atau 258 kilometer dari Kota Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah merupakan kuburan purba suku Pamona, penduduk asli Poso.

Nenek moyang orang Pamona itu, dulunya hidup di bukit-bukit, khususnya yang hidup di perbukitan Wawolembo. Sistem penguburan dengan menaruh jenazah di gua-gua itu, baru berakhir sekitar abad ke-19 Masehi. Gua ini pernah mengalami keruntuhan batuan sekitar lebih 2000 tahun silam. Gua Latea terdiri dari dua tingkat yaitu, di bawah, terdapat empat pasang peti jenazah dan 36 buah tengkorak manusia. Sedangkan, di atas, terdapat 17 pasang peti jenazah, 47 buah tengkorak dan lima buah gelang tangan. Kedua bagian ini pernah dipugar tahun 1994.

Cara penguburan zaman dulu masyarakat Pamona ini, sama seperti yang dilakukan di Tanah Toraja,Sulawesi Selatan. Memang, menurut Yustinus Hoke (60), budayawan Pamona, berdasarkan historisnya, orang Pamona dan orang Toraja masih memiliki hubungan kekerabatan yang sangat erat. Karena masih ada hubungan kekerabatan itulah, sehingga beberapa tradisi nyaris sama, termasuk salah satunya adalah cara penguburan jenazah dengan menaruhnya di gua-gua. Tidak hanya di Gua Latea. Kuburan nenek moyang orang Pamona lainnya terdapat di Gua Pamona yang letaknya persis di tepi Danau Poso. Gua ini memiliki 12 ruang. Menurut Yustinus Hoke, orang Pamona dikuburkan di Gua Pamona ini berdasarkan kelas sosial masing-masing. Hanya saja tidak dijelaskan, di ruangan ke berapa menjadi kuburan bagi kalangan bangsawan dan di mana letak kuburan rakyat biasa.

Meski sebagai kuburan nenek moyang orang Pamona, tapi Gua Pamona ini tidak hanya menjadi tempat wisata yang indah untuk dikunjungi, tapi juga menjadi tempat bermain anak-anak setempat. Gua Latea dan Gua Pamona, adalah dua cagar budaya di Kabupaten Poso. Kedua gua ini terakhir kali ramai dikunjungi pada 1997 lalu, ketika dilaksanakannya Festival Danau Poso (FDP) yang kesembilan.

Setelah meletusnya konflik Poso tahun 1998, praktis Gua Latea dan Gua Pamona ini tak lagi dikunjungi wisatawan maupun peneliti. "Iya, memang sejak kerusuhan, dua gua ini sudah sangat jarang dikunjungi," kata Pendeta Hengky Bawias. Dan lebih menyedihkan lagi, pada FDP yang ke-10 tahun 2007 ini, pihak panitia tidak memasukan Gua Latea dan Gua Pamona sebagai tempat untuk dikunjungi. Padahal, menurut Pendeta Hengky Bawias, pada FDP ke-9 tahun 1997 lalu, Gua Latea merupakan salah satu tempat yang ramai dikunjungi oleh tamu lokal, tamu dari luar Poso maupun tamu mancanegara yang hadir pada FDP.