SELAMAT DATANG WA'A KASANGKOMPO (SAUDARA) di BLOG ANAK PAMONA . . . .PAKAROSO MOSINTUWU NAKA MOLANTO . . . . SINTUWU MAROSO . . . .

Minggu, 20 Juli 2014

GOA PAMONA



HIMPALAUNAS.COM, POSO - Jika Anda sedang mengunjungi Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), sempatkanlah singgah ke Gua Pamona.
Gua yang terletak persis di sebelah Danau Poso ini selain menawarkan keindahan alamnya, gua ini juga menjadi salah satu tujuan wisata mistis dan unik. Gua yang namanya sama dengan suku asli orang Poso tersebut terletak di Desa Sangele.
Gua Pamona yang memiliki panjang sekitar 200 meter dengan kedalaman 80 meter ini sebagian guanya berada di bawah Danau Poso. Mulut Gua Pamona menghadap ke selatan dengan lebar dua meter. Sebagian jalan di gua tersebut memiliki ketinggian kurang dari satu meter, sehingga memaksa pengunjungnya untuk berjalan sambil berjongkok.
Menurut cerita masyarakat setempat, selama ratusan tahun silam gua tersebut berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan jenazah raja atau kaum bangsawan suku Pamona dan keluarganya. Hal itu dapat dibuktikan dengan adanya kerangka manusia dan keranda yang masih ada di dalamnya. Banyak warga setempat meyakini gua tersebut merupakan salah satu tempat asal-usul leluhur mereka karena leluhur orang Pamona yang juga biasa disebut orang Poso itu, dulunya bermukim di bukit-bukit, khususnya yang hidup di perbukitan Wawolembo.
Dalam gua tersebut juga terdapat delapan kamar atau ruang yang sangat gelap dan lembap. Ruang tersebut dahulunya berfungsi menyimpan jenazah suku Pamona yang disesuaikan dengan status sosialnya. Jenazah yang disemayamkan tersebut biasanya disertai perangkat kubur, seperti pakaian atau barang-barang berharga milik jenazah semasa hidupnya.
Karena letak gua yang dalam menyebabkan oksigen di dalamnya relatif sedikit. Hal itu membuat pengunjung merasa gerah dan cepat lelah saat menyusuri jalan dalam gua. Pencahayaan di gua tersebut juga sangat minim, hanya mengandalkan cahaya matahari yang berasal dari celah-celah bebatuan di atasnya.
Puas menikmati keindahan Gua Pamona, Anda bisa beristiaraht sejenak di penginapan yang terdapat di sekitar lokasi wisata tersebut. Selain itu, terdapat beberapa rumah makan yang menyediakan menu khas Tentena, seperti ikan sogili atau sidat yang disajikan dengan berbagai cara seperti direbus, dibakar atau digoreng.
Gua Pamona berjarak sekitar dua kilometer dari Kota Tentena, Kecamatan Pamona Utara, Kabupaten Poso. Gua ini dapat dijangkau dengan kendaraan pribadi baik mobil maupun sepeda motor sampai kilometer pertama, selepas itu perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki sampai di mulut gua sekitar 1 jam. Sepanjang perjalanan ke mulut gua ini kita akan disuguhkan suasana alam tropis yang indah.

Untuk mengetahui keadaan dan situasi salah satu wujud dari Budaya suku Pamona saat ini, apakah ada bentuk pelastarian dari pemerintah setempat atau tida dan di biarkan begitu saja, kita dapat langsung berkunjung ke Goa ini yang terletak di Desa Sangele, Kecamatan Pamona Utara, kurang lebih 58 Kilometer dari Kota Poso, dapat ditempuh dengan semua jenis kendaraan. Gua Pamona terletak dibukit karang sebelah barat dipinggir Danau Poso


sumber : http://ayudesiani.blogspot.com/2012/02/goa-pamona.html

Asal Nenek Moyang Suku Pamona

 
Dari Postingan saya sebelumnya tentang Suku Pamona, sekarang saya mau tambahin penjelasan mengenai Asal Nenek moyang Suku Pamona yang saya dapatkan dari Blog tetangga,,,hehehe
 
Di Poso Provinsi Sulawesi Tengah, terdapat berbagai macam suku. Namun suku yang mendominasi wilayah Poso adalah suku Pamona. Makanya, kadang suku Pamona disebut juga dengan suku Poso atau orang Poso. Padahal suku Poso tidak ada, yang ada hanyalah wilayah Poso yang didiami oleh sebagian besar suku Pamona.
Selain di Poso, suku Pamona juga mendiami wilayah Kabupaten Tojo Una-Una, sebagian wilayah Kabupaten Morowali, bahkan provinsi Sulawesi Selatan yakni di wilayah Luwu Timur. Sedangkan sebagian kecil hidup merantau di berbagai daerah di Indonesia.

Nenek Moyang Suku Pamona berasal dari dataran Salu Moge (luwu Timur). Karena berada di atas gunung yang jauh dari pusat pemerintahan, sehingga mereka diturunkan oleh Macoa Bawalipu mendekati pusat pemerintahan, yaitu di sekitaran wilayah Mangkutana (luwu Timur).

Hingga terjadinya pemberontakan DI/TII, mereka menyebar sampai ke Sulawesi Tengah dan daerah lainnya. Jika di suatu daerah terdapat suku Pamona, biasanya selalu ada Rukun Poso, yaitu wadah perkumpulan orang-orang sesuku untuk melakukan berbagai kegiatan di daerah tersebut.

Asal kata Pamona diambil dari nama bukit bernama Pamona di Tentena, suatu desa di pesisir utara danau Poso. Bukit tersebut dinamai Pamona karena banyak ditumbuhi pohon Pamona. Di atas bukit tersebut dibangun sebuah istana kerajaan. Raja yang berkuasa di daerah tersebut diberi nama Raha Pamona, sesuai dengan nama bukit yang ditumbuhi banyak pohon Pamona. Pohon ini juga tumbuh di sekitar istana raja. Lama-lama kerajaan ini besar hingga meliputi negeri yang berada di sekitar danau Poso.

Suku Pamona memiliki lembaga adat. Keberadaan lembaga Adat Pamona saat ini terbagi menjadi dua, yakni untuk di daerah Poso bernama Majelis Adat Lemba Pamona Poso sedangkan untuk di tanah Luwu (Kabupaten Luwu Timur dan Kabupaten Luwu Utara) dinamakan Lembaga Adat lemba Pamona Luwu.

Suku Pamona menggunakan Bahasa Pamona (Bare'e) dan Bahasa Indonesia dengan gaya bahasa setempat. Bahasa ini juga kadang disebut dengan Bahasa Poso, yang digunakan oleh sekitar 200.000 orang dari suku Pamona di Indonesia. Pamona hanya memiliki ragam bahasa lisan saja, tidak memiliki ragam tulisan atau aksara.

Meskipun suku Pamona memiliki bebebarapa subsuku seperti suku Wingkendano, Onda'e, Pebato, Lage, Lamusu, dan sebagainya, tetapi bahasa yang digunakan sama. Hanya saja perbedaannya terletak pada intonasi setiap kata yang digunakan. Bahasa Pamona juga mengenal strata dalam penuturan dengan tingkat kesopanan Namun secara umum, masing-masing subsuku dapat mengerti satu sama lain ketika bercakap-cakap.

Suku Pamona sebagian besar menganut agama Kristen. Agama ini masuk daerah sekitar 100 tahun yang lalu dan sampai sekarang diterima sebagai agama rakyat. Saat ini semua gereja-gereja yang sealiran dengan gereja ini bernaung dibawah naungan organisasi Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) yang berpusat di Tentena, kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.

Dalam hal kebudayaan, suku Pamona masih mempertahankannya. Ada dua kebudayaan yang masih dilestarikan, yaitu adat perkawinan dan syukuran setelah masa panen. Dalam adat perkawinannya, diatur mahar yang mesti ditanggung oleh mempelai pria.

Dalam adat ini juga ada tradisi gotong royong atau membantu dalam perkawinan yang disebut dengan Posintuwu. Bantuan yang diberikan berupa bantuan bahan-bahan makanan, uang, dan sebagainya. Posintuwu pasti akan terus terjaga karena setiap orang yang sudah diberi posintuwu harus membalasnya di kemudian hari kepada pemberi bila saat berlangsung pernikahan.

Sementara ucapan syukur setelah panen disebut dengan Padungku. Setelah panen masyarakat Pamona pasti melaksanakan ucapan syukur pada Tuhan pencipta (Pue mPalaburu) atas berkat kesuksesan panen. Walaupun masyarakat di sana sebagian bukan petani, tetapi harus tetap melaksanakannya juga sebagai ucapan syukur tahunan. Pada hari Padungku ini semua rakyat dapat saling berkunjung satu sama lain tanpa merasa keberatan. Tidak ada pembatasan untuk siapapun.

Ada lagi upacara pemindahan mayat yang disebut dengan Ndatabe. Jenazah tersebut disimpan pada tambea (tempat penyimpanan jenazah) sampai menjadi tulang belulang yang bersih dan letaknya agak jauh terpisah dari penduduk. Bila jenazah tersebut tinggal tulang belulang, diadakan upacara Mompemate (memindahkan tulang belutang tersebut ke gua-gua).

Dalam hal kesenian, masyarakat Pamona memiliki tarian tradisional bernama tarian Dero atau Madero. Tarian ini diadakan pada pesta-pesta rakyat. Biasanya dilakukan oleh orang-orang muda. Tarian melingkar dilakukan dengan saling bergandengan tangan, sambil berbalas pantun diringi musik ceria.

Menurut iramanya, madero dibedakan atas tiga macam gerakan yakni ende ntonggola, ditarikan saat menyambut bulan purnama. Kedua, ende ngkoyoe ditarikan saat mengantar panen atau perayaan hari besar atau pesta. Sedangkan yang ketiga ende ada untuk penyambutan hari-hari adat atau perayaan.

Seperti halnya dengan suku-suku lain seperti Batak, Toraja dan lainnya, suku Pamona juga menggunakan marga untuk mengikat kekerabatan satu darah. Misalnya marga Torau, Awundapu, Banumbu, Bali'e, Baloga, Belala, Betalino, Beto, Botilangi, Bulinde, Bungkundapu, Bungu, Buntinge, Dike, Dongalemba, Gilirante, Gimbaro, Gugu, Gundo, Kampindo, Kambodji, Kalembiro, Kalengke, Karape, Karebungu, Kayori, Kayupa, dan masih banyak lagi. 
 
 
 
 

Jumat, 11 Juli 2014

Koro Uelanti ( Permandian Uelanti )

Sungai Uelanti berhulu di kaki gunung Towingkeli, mata airnya menyerupai kolam yang mengeluarkan gelembung-gelembung dan mengalir melintasi dusun mangkulande dan bermuara disungai kalaena. Permandian ini memiliki daya tarik tersendiri yaitu airnya sangat sejuk dan disisi kiri-kanan aliran sungai di tumbuhi pepohonan yang sangat rindang. Untuk mencapai obyek permandian ini kita dapat menggunakan kendaraan roda empat dan dua. Jarak dari ibukota malili sekitar ± 64 km. (pdf wisata lutim)

Yang dimana pada zaman dahulu, sungai ini begitu sakral oleh para tokoh-tokoh adat suku pamona, dimana para bangsawan/kabosenya suku pamona bila diangkat untuk menjadi seorang pemimpin atau kegiatan adat lainnya, sungai inilah yang menjadi tempat untuk diadakan resepsi atau upacara adat.

Namun seiring bejalannya waktu sungai atau tempat ini telah berubah fungsi menjadi objek wisata/permandian beberapa tahun terakhir ini, sungai yang terletak di Desa Kasintuwu, Mangkulande, dimana warga yang bermukim di desa ini hampir semua adalah suku pamona, walaupun ada beberapa suku lainnya.

Objek wisata Pemandian Uelanti saat ini menjadi salah satu tempat wisata keluarga oleh warga masyarakat yang berada di beberapa kecamatan di kabupaten Luwu Timur, Koro Uelanti sebutan oleh warga setempat yang masih alamami ini banyak diminati oleh warga khususnya kaum-kaum muda untuk melakukan masa liburan sekolah, serta kegiatan rekreasi lainnya, di pinggiran sungai terdapat beberapa lapak oleh warga yang berada disekitaran sungai ini dimana para warga ini menyewakan ban ( ban dalam mobil besar ) untuk di gunakan para pengunjung, menyewakan beberapa Pondok atau kandepe yang berada di sekitaran pingiran sungai, serta mereka juga menjual beraneka ragam minuman dan makanan, hal ini menjadi penghasilan warga setempat bahkan mata pencaharian mereka.

Harapan agar kiranya Objek Wisata Koro Uelanti bisa mendapat apresiasi dari Pemerintah Kabupaten Luwu Timur secara khusus dinas pariwisata luwu timur, melalui pemerintah setempat serta dukungan oleh warga Desa Kasintuwu dusun mangkulande khusunya para suku pamona, Mulai dari akses jalan masuk ke tempat wisata yang masih berbatu, serta sarana dan prasarana yang mendukung.


 

Rabu, 16 April 2014

Jaga Kuburan Batu demi Hormati Leluhur

Warga suku Pamona di Dusun Tawi, Kecamatan Mangkutana, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan masih mempertahankan adat dan budaya mereka. Misalnya mereka masih memelihara budaya menumbuk padi di atas lesung belimbing dan kebiasaan menjaga kuburan nenek moyang suku Pamona.
Lesung ini dikenal warga suku Pamona sebagai Noncu. Bentuknya menyerupai buah belimbing, makanya lesung ini biasa juga disebut lesung belimbing. "Noncu ini dibuat menyerupai buah belimbing, di mana pada bagian pinggirnya lebar dan melengkung. Dibuat seperti buah belimbing agar padi yang ditumbuk tidak mudah berserakan ke tanah," tutur Jaranti Marui, salah seorang warga suku Pamona, yang ditemui Kompas.com di rumahnya, Dusun Tawi, Rabu (04/07/2012) lalu. Warga suku Pamona menggunakan Noncu untuk mengolah padi menjadi beras.
Saat pesta panen yang dilaksanakan dua kali dalam setahun, warga ramai-ramai menggunakan lesung tersebut untuk menumbuk padi. Satu lesung dapat digunakan 5 hingga 6 orang secara bersama-sama. Masyarakat Pamona mengonsumsi nasi campur jagung. Padi mereka tumbuk jadi beras, lalu dicampur jagung yang sudah dijemur, kemudian dimasak.
Budaya lainnya yang masih dipelihara suku Pamona adalah menjaga kuburan kuno yang terbuat dari batu. Di dusun Tawi terdapat dua buah batu berukuran besar yang dulunya dijadikan tempat menyimpan jenazah leluhur suku Pamona. Tak heran di dinding batu terdapat banyak tengkorak dan tulang belulang manusia yang diyakini jasad leluhur mereka.
Bagi masyarakat suku Pamona, batu ini diyakini sebagai kuburan leluhur mereka, sehingga terus dijaga dan dipelihara. Warga Pamona rutin membersihkan lokasi kuburan dan menjaga agar tengkorak dan tulang belulang leluhur mereka tidak hilang. "Ini adalah kuburan leluhur, di mana moyang suku Pamona dulunya disemayamkan di tempat ini," ungkap Dedi, Kepala Dusun Tawi Hutan Lindung.
Dusun Tawi adalah sebuah perkampungan tua yang dihuni sekitar 563 kepala keluarga Suku Pamona. Perkampungan tersebut berada di kawasan hutan lindung di Desa Kayu Legi, Kecamatan Mangkutana, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Selain bercocok tanam, sehari-harinya, masyarakat Pamona menggantungkan hidup dengan memanfaatkan hasil hutan. Mereka mengumpulkan buah merah, sarang semut, dan juga mengolah buah areng menjadi kolang kaling. Hasil bumi itu nantinya dijual untuk memenuhi kebutuhan warga suku Pamona.
Selain itu, sebagian warga suku Pamona juga bercocok tanam seperti padi dan jagung. Namun untuk menanam padi, mereka masih bergantung pada curah hujan (sawah tadah hujan) karena sebagian besar lokasi pesawahan berada di bebukitan.
Menurut Dedi, mayoritas masyarakat Pamona masih terbelakang karena lokasi dusun yang jauh dari perkotaan. Kata Dedi, Dusun Tawi berada di dataran tinggi pegunungan Kasintuwu, yang jaraknya berkisar 25 kilometer dari pusat Kecamatan Mangkutana, Labupaten Luwu Timur. Bahkan Dusun Tawi ini berada di wilayah perbatasan antara Provinsi Sulawesi Selatan dengan Provinsi Sulawesi Tengah.
Suku Pamona juga dilarang mendirikan prasarana sosial dan pendidikan di wilayahnya karena tanahnya diklaim Kementerian Kehutanan sebagai kawasan hutan lindung. "Di sini kami tidak diizinkan mendirikan prasarana sosial dan bangunan permanen oleh dinas kehutanan dengan alasan bahwa kampung yang kami huni adalah wilayah hutan lindung. Hal ini membuat masyarakat terus hidup dengan keterbelakangan," tambah Dedi.
Di bagian lain, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Luwu Timur, Djainuddin, membenarkan Dusun Tawi tempat tinggal suku Pamona termasuk kawasan hutan lindung. "Saat ini kami sedang melakukan pendataan di lapangan, dan nantinya akan mencari format tepat, apakah warga yang bermukim di wilayah hutan lindung dipindahkan ke lokasi hutan produksi. Namun jika kondisi hutan kritis dan rawan longsor, maka warga harus dikeluarkan dari wilayah tersebut," tegas Djainuddin.



Penulis: Kontributor Tana Luwu, Husain
Editor : Farid Assifa 
        

Rabu, 05 Maret 2014

Lestarikan Adat Pamona

Senin, 26 Apr 2010

Di tengah-tengah perkembangan globalisasi saat ini banyak suku bangsa yang hampir-hampir kehilangan identitasnya. Padahal identitas ini sangat penting agar kita tidak kehilangan jati diri sebagai masyarakat adat,karena adat dan budaya merupakan kekayaan daerah yang tidak ternilai. Tidak kecuali masyarakat adat Pamona Luwu Timur, jangan sampai juga akan kehilangan identitasnya sebagai masyarakat adat. Untuk itu harus dilestarikan dan dipelihara sehingga masyarakat adat pamona tetap mengenal jati dirinya.
Demikian disampaikan Bupati Luwu Timur, Andi Hatta Marakarma, ketika melakukan tatap muka dengan Pemangku Adat Pamona se Luwu Timur yang dirangkai dengan dewan adat desa/dusun lemba Pamona di Desa Beringin Jaya Kecamatan Tomoni, Jumat pekan lalu. Andi Hatta hadir selain sebagai Bupati juga dalam kapasitasnya sebagai Dewan Pansehat Lembaga Adat Lemba Pamona Luwu, bahkan ikut bertanda tangan atas keabsahan dewan adat yang baru dikukuhkan tersebut.
Menurut Hatta, saat ini banyak orang yang telah kehilangan idetitasnya karena tidak lagi mengenal jati dirinya. Kondisi ini tidak boleh terjadi kepada masyarakat adat Pamona yang merupakan suku asli Luwu Timur yang tidak terlepas dari kerajaan Luwu. Kedepan generasi muda lemba pamona harus bangkit, jangan kalah dari yang lain, apalagi potensi masyarakat Pamona sanagat besar di Luwu Timur.
Kepada Lembaga Adat Pamona yang memayungi semua dewan adat Pamona di tingkat desa dan dusun, Bupati meminta agar menyusun program kerja yang baik yang bersinergi dengan pemerintah daerah dalam rangka membangun masayrakat adapt pamona yang lebih baik.
Sementara itu, Ketua Lembaga Adat Lemba Pamona Luwu, Pellias Tangoa dalam sambutannya mengungkapkan tatap muka antara Pemangku adat Pamona se Luwu Timur dengan Bupati Luwu Timur adalah ungkapan kerinduan pemangku adat Pamona se Luwu Timur agar dapat mengenal lebih dekat sosok Andi Hatta sebagai Bupati, dengan demikian, tidak ada lagi jarak antara bupati dengan pemangku adat, tetapi sudah dipersatukan dalam bingkai keluarga Lemba Pamona. Oleh karena itu, ketua Dewan Lembaga Adat Lemba Pamona Luwu berpesan kepada semua dewan Adat Pamona untuk selalu membantu Bupati Luwu Timur dalam menjalankan tugas bidang pemerintahan.
(*/rhm)
 
 
 

Hukum Adat Pamona Masih Kental

Rabu (26/5/2010) silam, telah diselenggarakan Pelatihan Penyelesaian Permasalahan Kekerasan Terhadap Perempuan melalui proses hukum Adat.Pelatihan ini diselenggarakan oleh UNDP - Lead bekerjasama dengan KPKST Poso, dengan dihadiri sebanyak 50 orang peserta yang terdiri dari 6 Kecamatan yang tergabung dari 30 Desa, termasuk tokoh adat dan aparat pemerintah sebagai pesertanya.
Saat itu saya sangat tertarik dengan kegiatan tersebut, saking penasaranya akupun turut mengikuti Pelatihan yang mengangkat tentang kekerasan terhadap perempuuan ini  berlangsung selama 2 hari di Hotel Bambu Jaya Poso. Walaupun hanya satu sampai dua jam mengikuti pelatihan itukarena keterbatasan waktuku yang dibatasi dengan deadline berita. Namun, sudah cukup memuaskan hati.
Menariknya, pada pelatihan itu, ada seorang Tokoh adat pamona L.Koedio (56), disela-sela kegiatan sontak langsung mengungkapkan kepada saya, bahwa di daerah Pamona sampai saat ini, hukum adat masih berlaku dan masih sangat kental.

Dengan serius, saya tercengang mendengarkan apa yang dikatakan L.Koedio, menurutnya hukum adat yang masih berlaku di daerah pamona tercermin pada kehidupan keseharian masyarakat Pamona. L.Koedio memberi contoh, Apabila seorang laki-laki melakukan kekerasan terhadap seorang perempuan yang menjadi isterinya, dan berakhir pada perceraian, maka terhadap laki-laki tersebut akan dikenakan sanksi berupa pembayaran denda dengan menyerahkan 3 ekor kerbau kepada isterinya yang ditaksir kurang lebih seharga  9 juta Rupiah.
“hal ini berlaku sebaliknya, apabila sang isteri yang melakukan gugatan perceraian secara adat dia akan diwajibkan membayar denda sebanyak 4 ekor kerbau kepada suaminya”, ujar tokoh adat Pamona ini.
Selain itu, Dalam adat masyarakat Pamona, hal semacam ini sering dikenal
dengan sebutan “KAMBA” yang artinya “Tukar”. Dimana, apabila seseorang telah
melakukan suatu perbuatan yang dianggap telah melanggar hukum adat di daerah
Pamona ini, maka ia akan dikenakan sanksi berupa pembayaran secara adat, dengan
berdasarkan besar kecilnya pelanggaran yang dilakukan. Sebagai contoh, ada warga Pamona yang telah melakukan perbuatan dengan menampar orang lain, maka ia akan dikenakan pembayaran dengan denda 1 ekor kambing atau diganti dengan uang sebesar 100 Ribu Rupiah.

Dalam hal pelanggaran atau warga yang telah mengalami pelanggaran dimaksud, maka hal itu harus segera dilaporkan kepada Dewan Adat setempat. Sementara itu, Salma Masri , SH sebagai Penanggungjawab program dalam pelatihan ini mengatakan bahwa pelatihan yang diselenggarakan terbuka
untuk umum ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa
terhadap suatu permasalahan yang muncul didalam masyarakat, dapat disele

Saikan secara kekeluargaan melalui hukum adat yang berlaku di daerah seperti halnya di
daerah Pamona ini. Dan diharapkan dalam pelatihan ini peserta mampu menerapkannya
kedalam kehidupan masyarakat, sehingga tercipta kehidupan harmonis dalam
bermasyarat.



 Sumber :  http://sosok.kompasiana.com/2011/02/21/hukum-adat-pamona-masih-kental-343424.html

Selasa, 22 Oktober 2013

Cerita Rakyat To' Pamona dan To' Wotu Asli

Cerita Part I :

Pada zaman dahulu kala dalam sebuah Hutan yang begitu luas dimana di dalamnya terdapat Sungai yang aliran airnya begitu deras dan luas. Di dalam hutan ini terdapat seseorang yang hidup di Hulu sungai dan melakukan aktivitas keseharianya adalah bercocok tanam atau bertani, dengan menanam berbagai jenis tanaman, mulai dari padi, buah-buahan dan jagung, dan orang ini di sebut sebagai " To' Lampu atau To' Pamona ". Suatu ketika pada saat musim panen jagung tiba To' Lampu ini mulai melakukan kegiatan panen jagungnya, sebagian hasil panennya dia simpan n sebagian pula dia konsumsi, asyik-asyiknya dia memakan jagung rebus dan bakarnya, dia tak sengaja membuang sisa jagungnya yakni tongkolnya atau dalam bahasa Pamonanya " Pusu jole " di sungai, sekian lama tongkol jagung yang di buang oleh To' Lampu ini terbawa arus atau aliran sungai, suatu ketika di Hilir sungai seseorang tak sengaja melihat tongkol jagung yang terbawa aliran air sungai, setika itupula orang ini kaget dan bertanya-tanya dalam diri dan berkata " ini adalah tongkol jagung, bagaimana mungkin ini bisa terbawa oleh air dan dari mana asalnya ?? ". Ia kemudian mengambil kesimpulan bahwa di dalam hutan yang luas dan lebat ini bukan hanya dirinya saja manusia yang hidup akan tetapi ada manusia lain dan seseorang yang menemukan tongkol jagung ini adalah " To' Wotu " yang hidup di sekitaran Hilir sungai .

Singkat cerita To' Wotu ini dengan rasa penasarannya ingin mengetahui dari mana asal tongkol jagung tersebut, Ia mulai mengikuti aliran sungai dari Hilir menuju Hulu sungai dan berharap menemukan petunjuk bahwa dari mana asal dan siapa sebenarnya pemilik tongkol jagung ini, apakah ini milik manusia atau dari hewan namun nalurinya percaya ini adalah milik seseorang, setelah sekian jauh dia berjalan menyusuri hutan, Ia menemukan sebuah pohon dan pohon tersebut begitu bersih beda dengan pohon-pohon yang ada di sekitarnya yang begitu kotor, di pohon yang bersih tersebut terdapat sebuah bambu yang di letakan dan menyerupai sebuah tangga untuk memenjat pohon tersebut dan ternyata pohon ini adalah Pohon Aren ata Enau yang dimana kelola untuk di buat Tuak atau Ballo atau Baru dalam bahasa pamonaya. Berdasarkan temuan yang ia ketemukan maka rasa penasarannya bahwa di dalam hutan ini bukan hanya dia akan tetapi ada orang lain, namun itu masih menjadi tanda tanya untuk dirinya menurut To' Wotu.

Untuk membuktikan bahwa didalam hutan ini bukan hanya dirinya dan temuan yang ia ketemukan mulai dari tongkol jagung sampai pada pohon tuak atau baru, ia memutuskan untuk menunggu di sekitar pohon tuak atau baru dengan bersembunyi, lama dia menunggu sosok yang ia tunggu-tunggu ini tak kunjung muncul  juga, maka dari itu ia memutuskan untuk kembali ke rumahnya atau pondokkan dan akan kembali keesokan harinya.

Keesokan harinya To' Wotu ini datang lagi ke Pohon Tuak atau baru dan berharap dia bisa bertemu dengan pemilik Pohon tersebut, namun sayang ia lambat ternyata To' Lampu baru-baru saja selsai mengambil air Tuaknya atau Ue baru. Maka To' Wotu ini memutuskan untuk pulang dan akan datang kembali pada sore hari, To' Wotu ini pulang ke tempatnya dan memutuskan untuk memberikan sesuatu pada sesorang yang dianggap masih misterius ini, pada sore hari To' Wotu ini kembali ke pohon tuak dengan membawa sesuatu di didalam kernajang kecil yang dianyam dari dedaunan dalam bahasa pamona kamboti dan meletakan atau mengantung barang tersebut pas tepat di anak tangga yang ada di pohon tuak dan To' Wotu ini berkata " kalau memang sosok yang saya cari tau selama ini adalah manusia pasti dia akan mengambil pemberianku ini, maka pulanglah To' Wotu ke tempatnya.

Keesokan harinya lagi To' Lampu ini datang untuk mengambil air tuaknya, namun tiba-tiba dia di kejutkan dengan sebuah keranjang kecil yang tergantung di anak tangganya, lalu ia membuka isi keranjang tersebut dan mencoba isinya ternyata isi dan rasanya adalah Garam, lalu To' Lambu ini berkata " berarti di sekitar atau di dlam hutan ini bukan hanya saya yang hidup akan tetapi ada orang lain namun dia itu siapa ?? " . Tanpa menunggu waktu To' Lampu ini pun membalas kiriman misterius dengan seikat Jagung muda. Hari berikutnya datanglah To' Wotu untuk melihat apakah barang yang ia simpan kemarin masih ada atau sudah diambil oleh sosk misterius itu, tiba di pohon Tuak dia mendapatkan seikat jagung muda, maka To' Wotu ini mulai menemukan titik terang dari pencariannya selama ini, bahwa ini adalah seorang manusia yang mengambil Garamnya dan menemukan beberapa bekas telapak kaki di sekitar pohon Aren tersebut, maka dari situlah To' Wotu ini memutuskan untuk menunggu di sekitaran pohon aren, sela beberapa jam kemudian trdengarlah langkah dari balik semak-semak di tengah hutan dan seketika itupula munculah sosok seseorang dengan berikatkan parang dengan rumahnya ( moguma ) lengkap dengan bambu untuk tempat air tuak atau Ue baru, maka To' Wotu ini mulai berkata " oh,, jadi kamulah orang yang selama ini saya cari tau, yang membuang tongkol jagung di sungai dan membuat air tuak atau ue baru ?? ", lalu To' Lampu ini menjawab " ia sayalah yang membuang tongkol jagung di sungai, jadi kamu juga yang menyimpan garam di tangga saya ? ", To' Wotu menjawab " ia itu saya, karena saya ingin mengetahui siapa pemilik tongkol jagung yang saya ketemukan di sungai.

Dari pertemuan dan perkenalan  di bawah pohon tuak inilah mulai terjadi komunikasi antara To' Lampu atau To' Pamona ( Suku Pamona ) dengan To' Wotu atau Orang Wotu asli, terjalin hububugan persahabatan, kekeluargaan dan silahturahmi antara keduanya.







Sumber : Berdasarkan dari beberapa tokoh masyarakat pamona yang penulis wawancarai