SELAMAT DATANG WA'A KASANGKOMPO (SAUDARA) di BLOG ANAK PAMONA . . . .PAKAROSO MOSINTUWU NAKA MOLANTO . . . . SINTUWU MAROSO . . . .

Rabu, 16 April 2014

Jaga Kuburan Batu demi Hormati Leluhur

Warga suku Pamona di Dusun Tawi, Kecamatan Mangkutana, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan masih mempertahankan adat dan budaya mereka. Misalnya mereka masih memelihara budaya menumbuk padi di atas lesung belimbing dan kebiasaan menjaga kuburan nenek moyang suku Pamona.
Lesung ini dikenal warga suku Pamona sebagai Noncu. Bentuknya menyerupai buah belimbing, makanya lesung ini biasa juga disebut lesung belimbing. "Noncu ini dibuat menyerupai buah belimbing, di mana pada bagian pinggirnya lebar dan melengkung. Dibuat seperti buah belimbing agar padi yang ditumbuk tidak mudah berserakan ke tanah," tutur Jaranti Marui, salah seorang warga suku Pamona, yang ditemui Kompas.com di rumahnya, Dusun Tawi, Rabu (04/07/2012) lalu. Warga suku Pamona menggunakan Noncu untuk mengolah padi menjadi beras.
Saat pesta panen yang dilaksanakan dua kali dalam setahun, warga ramai-ramai menggunakan lesung tersebut untuk menumbuk padi. Satu lesung dapat digunakan 5 hingga 6 orang secara bersama-sama. Masyarakat Pamona mengonsumsi nasi campur jagung. Padi mereka tumbuk jadi beras, lalu dicampur jagung yang sudah dijemur, kemudian dimasak.
Budaya lainnya yang masih dipelihara suku Pamona adalah menjaga kuburan kuno yang terbuat dari batu. Di dusun Tawi terdapat dua buah batu berukuran besar yang dulunya dijadikan tempat menyimpan jenazah leluhur suku Pamona. Tak heran di dinding batu terdapat banyak tengkorak dan tulang belulang manusia yang diyakini jasad leluhur mereka.
Bagi masyarakat suku Pamona, batu ini diyakini sebagai kuburan leluhur mereka, sehingga terus dijaga dan dipelihara. Warga Pamona rutin membersihkan lokasi kuburan dan menjaga agar tengkorak dan tulang belulang leluhur mereka tidak hilang. "Ini adalah kuburan leluhur, di mana moyang suku Pamona dulunya disemayamkan di tempat ini," ungkap Dedi, Kepala Dusun Tawi Hutan Lindung.
Dusun Tawi adalah sebuah perkampungan tua yang dihuni sekitar 563 kepala keluarga Suku Pamona. Perkampungan tersebut berada di kawasan hutan lindung di Desa Kayu Legi, Kecamatan Mangkutana, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Selain bercocok tanam, sehari-harinya, masyarakat Pamona menggantungkan hidup dengan memanfaatkan hasil hutan. Mereka mengumpulkan buah merah, sarang semut, dan juga mengolah buah areng menjadi kolang kaling. Hasil bumi itu nantinya dijual untuk memenuhi kebutuhan warga suku Pamona.
Selain itu, sebagian warga suku Pamona juga bercocok tanam seperti padi dan jagung. Namun untuk menanam padi, mereka masih bergantung pada curah hujan (sawah tadah hujan) karena sebagian besar lokasi pesawahan berada di bebukitan.
Menurut Dedi, mayoritas masyarakat Pamona masih terbelakang karena lokasi dusun yang jauh dari perkotaan. Kata Dedi, Dusun Tawi berada di dataran tinggi pegunungan Kasintuwu, yang jaraknya berkisar 25 kilometer dari pusat Kecamatan Mangkutana, Labupaten Luwu Timur. Bahkan Dusun Tawi ini berada di wilayah perbatasan antara Provinsi Sulawesi Selatan dengan Provinsi Sulawesi Tengah.
Suku Pamona juga dilarang mendirikan prasarana sosial dan pendidikan di wilayahnya karena tanahnya diklaim Kementerian Kehutanan sebagai kawasan hutan lindung. "Di sini kami tidak diizinkan mendirikan prasarana sosial dan bangunan permanen oleh dinas kehutanan dengan alasan bahwa kampung yang kami huni adalah wilayah hutan lindung. Hal ini membuat masyarakat terus hidup dengan keterbelakangan," tambah Dedi.
Di bagian lain, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Luwu Timur, Djainuddin, membenarkan Dusun Tawi tempat tinggal suku Pamona termasuk kawasan hutan lindung. "Saat ini kami sedang melakukan pendataan di lapangan, dan nantinya akan mencari format tepat, apakah warga yang bermukim di wilayah hutan lindung dipindahkan ke lokasi hutan produksi. Namun jika kondisi hutan kritis dan rawan longsor, maka warga harus dikeluarkan dari wilayah tersebut," tegas Djainuddin.



Penulis: Kontributor Tana Luwu, Husain
Editor : Farid Assifa 
        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar