Rabu (26/5/2010) silam, telah diselenggarakan Pelatihan
Penyelesaian Permasalahan Kekerasan Terhadap Perempuan melalui proses
hukum Adat.Pelatihan ini diselenggarakan oleh UNDP - Lead bekerjasama
dengan KPKST Poso, dengan dihadiri sebanyak 50 orang peserta yang
terdiri dari 6 Kecamatan yang tergabung dari 30 Desa, termasuk tokoh
adat dan aparat pemerintah sebagai pesertanya.
Saat itu saya sangat tertarik dengan kegiatan tersebut, saking penasaranya akupun turut mengikuti Pelatihan yang mengangkat tentang kekerasan terhadap perempuuan ini berlangsung selama 2 hari di Hotel Bambu Jaya Poso. Walaupun hanya satu sampai dua jam mengikuti pelatihan itukarena keterbatasan waktuku yang dibatasi dengan deadline berita. Namun, sudah cukup memuaskan hati.
Menariknya, pada pelatihan itu, ada seorang Tokoh adat pamona L.Koedio (56), disela-sela kegiatan sontak langsung mengungkapkan kepada saya, bahwa di daerah Pamona sampai saat ini, hukum adat masih berlaku dan masih sangat kental.
Dengan serius, saya tercengang mendengarkan apa yang dikatakan L.Koedio, menurutnya hukum adat yang masih berlaku di daerah pamona tercermin pada kehidupan keseharian masyarakat Pamona. L.Koedio memberi contoh, Apabila seorang laki-laki melakukan kekerasan terhadap seorang perempuan yang menjadi isterinya, dan berakhir pada perceraian, maka terhadap laki-laki tersebut akan dikenakan sanksi berupa pembayaran denda dengan menyerahkan 3 ekor kerbau kepada isterinya yang ditaksir kurang lebih seharga 9 juta Rupiah.
“hal ini berlaku sebaliknya, apabila sang isteri yang melakukan gugatan perceraian secara adat dia akan diwajibkan membayar denda sebanyak 4 ekor kerbau kepada suaminya”, ujar tokoh adat Pamona ini.
Selain itu, Dalam adat masyarakat Pamona, hal semacam ini sering dikenal
dengan sebutan “KAMBA” yang artinya “Tukar”. Dimana, apabila seseorang telah
melakukan suatu perbuatan yang dianggap telah melanggar hukum adat di daerah
Pamona ini, maka ia akan dikenakan sanksi berupa pembayaran secara adat, dengan
berdasarkan besar kecilnya pelanggaran yang dilakukan. Sebagai contoh, ada warga Pamona yang telah melakukan perbuatan dengan menampar orang lain, maka ia akan dikenakan pembayaran dengan denda 1 ekor kambing atau diganti dengan uang sebesar 100 Ribu Rupiah.
Dalam hal pelanggaran atau warga yang telah mengalami pelanggaran dimaksud, maka hal itu harus segera dilaporkan kepada Dewan Adat setempat. Sementara itu, Salma Masri , SH sebagai Penanggungjawab program dalam pelatihan ini mengatakan bahwa pelatihan yang diselenggarakan terbuka
untuk umum ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa
terhadap suatu permasalahan yang muncul didalam masyarakat, dapat disele
Saikan secara kekeluargaan melalui hukum adat yang berlaku di daerah seperti halnya di
daerah Pamona ini. Dan diharapkan dalam pelatihan ini peserta mampu menerapkannya
kedalam kehidupan masyarakat, sehingga tercipta kehidupan harmonis dalam
bermasyarat.
Sumber : http://sosok.kompasiana.com/2011/02/21/hukum-adat-pamona-masih-kental-343424.html
Saat itu saya sangat tertarik dengan kegiatan tersebut, saking penasaranya akupun turut mengikuti Pelatihan yang mengangkat tentang kekerasan terhadap perempuuan ini berlangsung selama 2 hari di Hotel Bambu Jaya Poso. Walaupun hanya satu sampai dua jam mengikuti pelatihan itukarena keterbatasan waktuku yang dibatasi dengan deadline berita. Namun, sudah cukup memuaskan hati.
Menariknya, pada pelatihan itu, ada seorang Tokoh adat pamona L.Koedio (56), disela-sela kegiatan sontak langsung mengungkapkan kepada saya, bahwa di daerah Pamona sampai saat ini, hukum adat masih berlaku dan masih sangat kental.
Dengan serius, saya tercengang mendengarkan apa yang dikatakan L.Koedio, menurutnya hukum adat yang masih berlaku di daerah pamona tercermin pada kehidupan keseharian masyarakat Pamona. L.Koedio memberi contoh, Apabila seorang laki-laki melakukan kekerasan terhadap seorang perempuan yang menjadi isterinya, dan berakhir pada perceraian, maka terhadap laki-laki tersebut akan dikenakan sanksi berupa pembayaran denda dengan menyerahkan 3 ekor kerbau kepada isterinya yang ditaksir kurang lebih seharga 9 juta Rupiah.
“hal ini berlaku sebaliknya, apabila sang isteri yang melakukan gugatan perceraian secara adat dia akan diwajibkan membayar denda sebanyak 4 ekor kerbau kepada suaminya”, ujar tokoh adat Pamona ini.
Selain itu, Dalam adat masyarakat Pamona, hal semacam ini sering dikenal
dengan sebutan “KAMBA” yang artinya “Tukar”. Dimana, apabila seseorang telah
melakukan suatu perbuatan yang dianggap telah melanggar hukum adat di daerah
Pamona ini, maka ia akan dikenakan sanksi berupa pembayaran secara adat, dengan
berdasarkan besar kecilnya pelanggaran yang dilakukan. Sebagai contoh, ada warga Pamona yang telah melakukan perbuatan dengan menampar orang lain, maka ia akan dikenakan pembayaran dengan denda 1 ekor kambing atau diganti dengan uang sebesar 100 Ribu Rupiah.
Dalam hal pelanggaran atau warga yang telah mengalami pelanggaran dimaksud, maka hal itu harus segera dilaporkan kepada Dewan Adat setempat. Sementara itu, Salma Masri , SH sebagai Penanggungjawab program dalam pelatihan ini mengatakan bahwa pelatihan yang diselenggarakan terbuka
untuk umum ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa
terhadap suatu permasalahan yang muncul didalam masyarakat, dapat disele
Saikan secara kekeluargaan melalui hukum adat yang berlaku di daerah seperti halnya di
daerah Pamona ini. Dan diharapkan dalam pelatihan ini peserta mampu menerapkannya
kedalam kehidupan masyarakat, sehingga tercipta kehidupan harmonis dalam
bermasyarat.
Sumber : http://sosok.kompasiana.com/2011/02/21/hukum-adat-pamona-masih-kental-343424.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar