Warga suku Pamona di Dusun Tawi, Kecamatan Mangkutana, Kabupaten Luwu
Timur, Sulawesi Selatan masih mempertahankan adat dan budaya mereka.
Misalnya mereka masih memelihara budaya menumbuk padi di atas lesung
belimbing dan kebiasaan menjaga kuburan nenek moyang suku Pamona.
Lesung
ini dikenal warga suku Pamona sebagai Noncu. Bentuknya menyerupai buah
belimbing, makanya lesung ini biasa juga disebut lesung belimbing.
"Noncu ini dibuat menyerupai buah belimbing, di mana pada bagian
pinggirnya lebar dan melengkung. Dibuat seperti buah belimbing agar
padi yang ditumbuk tidak mudah berserakan ke tanah," tutur Jaranti
Marui, salah seorang warga suku Pamona, yang ditemui Kompas.com di rumahnya, Dusun Tawi, Rabu (04/07/2012) lalu. Warga suku Pamona menggunakan Noncu untuk mengolah padi menjadi beras.
Saat
pesta panen yang dilaksanakan dua kali dalam setahun, warga
ramai-ramai menggunakan lesung tersebut untuk menumbuk padi. Satu
lesung dapat digunakan 5 hingga 6 orang secara bersama-sama. Masyarakat
Pamona mengonsumsi nasi campur jagung. Padi mereka tumbuk jadi beras,
lalu dicampur jagung yang sudah dijemur, kemudian dimasak.
Budaya
lainnya yang masih dipelihara suku Pamona adalah menjaga kuburan kuno
yang terbuat dari batu. Di dusun Tawi terdapat dua buah batu berukuran
besar yang dulunya dijadikan tempat menyimpan jenazah leluhur suku
Pamona. Tak heran di dinding batu terdapat banyak tengkorak dan tulang
belulang manusia yang diyakini jasad leluhur mereka.
Bagi
masyarakat suku Pamona, batu ini diyakini sebagai kuburan leluhur
mereka, sehingga terus dijaga dan dipelihara. Warga Pamona rutin
membersihkan lokasi kuburan dan menjaga agar tengkorak dan tulang
belulang leluhur mereka tidak hilang. "Ini adalah kuburan leluhur, di
mana moyang suku Pamona dulunya disemayamkan di tempat ini," ungkap
Dedi, Kepala Dusun Tawi Hutan Lindung.
Dusun Tawi adalah sebuah
perkampungan tua yang dihuni sekitar 563 kepala keluarga Suku Pamona.
Perkampungan tersebut berada di kawasan hutan lindung di Desa Kayu Legi,
Kecamatan Mangkutana, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Selain
bercocok tanam, sehari-harinya, masyarakat Pamona menggantungkan hidup
dengan memanfaatkan hasil hutan. Mereka mengumpulkan buah merah, sarang
semut, dan juga mengolah buah areng menjadi kolang kaling. Hasil bumi
itu nantinya dijual untuk memenuhi kebutuhan warga suku Pamona.
Selain
itu, sebagian warga suku Pamona juga bercocok tanam seperti padi dan
jagung. Namun untuk menanam padi, mereka masih bergantung pada curah
hujan (sawah tadah hujan) karena sebagian besar lokasi pesawahan berada
di bebukitan.
Menurut Dedi, mayoritas masyarakat Pamona masih
terbelakang karena lokasi dusun yang jauh dari perkotaan. Kata Dedi,
Dusun Tawi berada di dataran tinggi pegunungan Kasintuwu, yang jaraknya
berkisar 25 kilometer dari pusat Kecamatan Mangkutana, Labupaten Luwu
Timur. Bahkan Dusun Tawi ini berada di wilayah perbatasan antara
Provinsi Sulawesi Selatan dengan Provinsi Sulawesi Tengah.
Suku
Pamona juga dilarang mendirikan prasarana sosial dan pendidikan di
wilayahnya karena tanahnya diklaim Kementerian Kehutanan sebagai kawasan
hutan lindung. "Di sini kami tidak diizinkan mendirikan prasarana
sosial dan bangunan permanen oleh dinas kehutanan dengan alasan bahwa
kampung yang kami huni adalah wilayah hutan lindung. Hal ini membuat
masyarakat terus hidup dengan keterbelakangan," tambah Dedi.
Di
bagian lain, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Luwu Timur, Djainuddin,
membenarkan Dusun Tawi tempat tinggal suku Pamona termasuk kawasan hutan
lindung. "Saat ini kami sedang melakukan pendataan di lapangan, dan
nantinya akan mencari format tepat, apakah warga yang bermukim di
wilayah hutan lindung dipindahkan ke lokasi hutan produksi. Namun jika
kondisi hutan kritis dan rawan longsor, maka warga harus dikeluarkan
dari wilayah tersebut," tegas Djainuddin.
Penulis | : Kontributor Tana Luwu, Husain | ||||||||||
Editor | : Farid Assifa |