SELAMAT DATANG WA'A KASANGKOMPO (SAUDARA) di BLOG ANAK PAMONA . . . .PAKAROSO MOSINTUWU NAKA MOLANTO . . . . SINTUWU MAROSO . . . .

Sabtu, 27 Juli 2013

ARTI DARI " TADULAKO "

Kata "Tadulako" berasal dari dua kata "Tadu" atau "Padu" berarti "Tumit" dan "Lako" atau "Dako" yang berarti sumber atau asal muasal. Sehingga pengertian Tadulako bermakna "Tumpuan yang berasal atau bersumber pada tumit". Kemudian pengertian ini bermetamorfosis dan memunculkan makna yang lebih familiar "Pemimpin". Di sebuah dialog kesejarahan di Universitas Tadulako, Sulawesi Tengah yang merupakan satu rangkaian dengan acara PENTAS (Pekan Cinta Sejarah) gelaran Direktorat Jenderal Sejarah Purbakala (Ditjen Sepur), Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif beberapa waktu lalu. Salah satu pembicara yang juga dosen sejarah di Universitas itu mengungkapkan hal yang sama, bahwa Tadulako adalah pemimpin, panglima, atau orang-orang yang berjasa terhadap bangsanya. Tadulako bisa siapa saja, bangsawan, ketua adat, para ulama, bahkan masyarakat biasa yang pernah berjasa. Namun, untuk memperoleh gelar itu tidak semudah mengucapkan pengertiannya. Melainkan berdasarkan tahapan-tahapan tertentu yang berlaku di masyarakat pada masa itu. Ini tercatat dalam sejarah peradaban Tanah Kaili, suku banga asli bagian tengah Sulawesi. Bicara sejarah, rasanya kurang lengkap tanpa mengunjungi bukti peninggalannya. Kami pun tergerak untuk melihat langsung situs cagar budaya Sulawesi Tengah yang konon merupakan situs tertua yang ada diseluruh dunia. Meskipun dalam agenda kunjungan kami ke Kota Palu hanya mengikuti serangkaian acara Pentas; diskusi, seminar, pameran dan seremonial lainnya yang membosankan. Tampaknya keberuntungan berpihak pada kami, karena panitia menyetujui. Hari kedua, besok. Kami berenam akan berangkat. Saya dari Travel Club dan dua rekan sesama jurnalis serta dua pendamping dari pihak panitia Ditjen Sepur ditambah supir yang akan membawa mobil sewaan. *** Pagi itu mendung menutup langit, kemudian gerimis seolah ingin melunturkan niat kami mencari dua situs di Lembah Besoa, Tadulako dan Pokekea. Dengan tekad yang sudah bulat, kami semua sepakat tetap jalan meski medan yang dialui akan terasa berat. Wisata arkeologi. Mungkin ini istilah yang tepat untuk perjalanan kami. Pencarian sosok pemimpin purba peninggalan zaman megalith yang tersebar di Daerah Lore, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Menurut kabar, banyak situs cagar budaya tersebar di sana. Salah satunya adalah situs Tadulako. Sebuah patung batu (arca) silinder, mungkin dulunya merupakan gambaran seorang pemimpin. "Pada zamannya, arca megalith dianggap sebagai sebuah perwujudan terhadap pemujaan arwah nenek moyang yang dimuliakan masyarakat setempat. Biasanya penjelmaan sosok pemimpin atau yang dituakan dalam kelompoknya," kata Wawan, salah satu panitia pendamping yang ternyata berpendidikan S2 Arkeolog. Pencarian situs tentu jadi semakin menarik, karena diantara kami ada yang mengerti apa yang sedang kami cari. Situs Tadulako menjadi target utama. Selain informasi yang tertera di brosur pariwisata, informasi dari penduduk lokal pastinya akan lebih akurat. Maka sang supir membawa kami melalui jalur Sigi - Palolo - Taman Nasional Lore Lindu - Lembah Napu dan singgah di Desa Wuasa. Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan yang luar biasa. Bentangan alam yang begitu indah; bukit-bukit menghijau, hutan lebat, sawah ladang, dan perkebunan coklat silih berganti menghiasi jendela mobil kami. Jalan berliku, menanjak, dan sempit memaksa mobil yang kami tumpangi memeras tenaga. Sebelum sampai Lembah Napu kami bertemu wisatawan asing yang asik mengamati burung dengan teropongnya. Sulawesi Tengah ibarat surga bagi pengamat burung. Pasalnya disinilah Garis Wallace itu ada, garis hipotesa yang memisahkan wilayah geografi hewan. Disinilah habitat burung rangkong atau atau burung-burung paruh bengkok lainnya yang tidak akan ditemui pada bagian barat dunia. "Hutan di Indonesia bagus dan masih alami, tapi sayang penebangan hutan masih terjadi tanpa memikirkan ekosistem yang ada," kata Manfred, wisatawan asal Jerman yang sempat berbincang dengan kami di sekitaran Taman Nasional Lore Lindu. Lembah Napu terlihat membentuk lanskap luas dibawah sana, kendaraan kami berlanjut menuruni bukit. Tiba di penginapan sore hari. Perlu diketahui di Desa Wuasa ini listrik hanya menyala sekitar enam jam. Menyala pukul 18.30 hingga 23.30 saja. Hampir tidak ada aktivitas di malam hari, kecuali terlelap dalam gelap. Sungguh pengalaman berwisata yang amat berkesan. *** Udara dingin membangunkan kami dari mimpi, bersiap pergi menuju Doda, sampai akhirnya tiba di Lembah Besoa. Setelah dua jam lebih melewati jalan sempit dan beberapa desa kami temukan plang bertuliskan "Situs Tadulako 1 km". Namun kendaraan tidak bisa mencapai situs pertama yang kami temukan. Terpaksa harus melanjutkan dengan berjalan kaki satu kilometer melalui jalan setapak dan mencari-cari lokasi yang tidak pasti. Biasanya sebuah situs akan berada di tempat yang tinggi. Pengalaman arkeolog itulah yang menjadi patokan kami harus berjalan ke arah mana. Akhirnya kami temukan Situs Tadulako yang menjadi ikon pariwisata Sulawesi Tengah. Sebuah arca yang menyendiri terbuat dari batu granit, berdiri tegak di tengah alam yang luas dan indah. Dengan tinggi 196 centimeter dan diameter 60 centimeter batu Tadulako menghadap ke arah utara, diartikan sebagai tempat datangnya arwah nenek moyang. Sayangnya sampai sekarang belum ada kepastian dari para arkeolog yang menyebutkan kapan awal mula situs ini dibuat. Hanya ada hipotesa global yang menyebutkan megalith yang ada di Sulawesi Tengah diperkirakan berasal 3.000 SM (sebelum Masehi), dan yang termuda dibuat sekitar 1.300 SM. Ada juga anggapan dari para peneliti bahwa megalith Lore merupakan yang tertua di dunia. Tampaknya tetap menjadi misteri sampai ada penelitian lanjutan dari Balai Arkeolog Manado yang berwenang terhadap situs-situs di wilayah ini. Setelah puas mengamati dan berfoto, perjalanan kami berlanjut mencari situs kedua, Pokekea. Ternyata lokasinya pun masih tersembunyi karena tidak ada petunjuk yang jelas bagi kami. Tetapi tetap kami paksakan untuk terus mencari hingga desa paling akhir di Lembah Besoa. Beruntung kami bertemu dengan Mandela, seoarang anak desa yang bersedia menunjukan jalan. Lagi-lagi harus berjalan kaki untuk sampai ke lokasi, dan kali ini terasa lebih jauh. Situs Pokekea berbeda dengan Tadulako, di sini banyak peninggalan batu-batu purba. Rata-rata berbentuk Kalamba (batu kubur), bentuk silinder yang bagian dalamnya dilubangi menyerupai bentuk tong besar dengan ukuran tinggi bervariasi antara 1,5 meter sampai 2,7 meter, dan memiliki diameter antara 1 meter hingga 1,8 meter tempat penyimpanan orang yang sudah mati. Tutupnya menunjukan jumlah yang terkubur dengan pahatan berbentuk manusia sedang telungkup atau ukiran wajah. Menurut data yang diperoleh dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Tengah, situs megalith Pokekea terdiri dari 8 buah Kalamba, 4 buah Arca, 14 buah batu Dokon, 18 buah batu Kerakel, 5 buah Dolmen, 5 buah Altar Batu, 2 buah batuTetralit, 1 buah batu bergores, dan 2 buah Palung Batu, yang tersebar dalam satu komplek. Puas sudah kami melihat langsung Benda Cagar Budaya (BCB) peninggalan zaman purba, meski cuma dua situs yang berhasil kami datangi. Sebenarnya masih banyak situs yang belum atau baru ditemukan. Bahkan menurut cerita seorang anak di daerah situs ada satu Kalamba yang masih terdapat tulang belulang di dalamanya. Mungkin baru saja ditemukan arkeolog dan belum sempat diangkat. Tapi waktu tidak memungkinkan untuk melakukan pencarian lagi, karena perjalanan pulang melalui Trans Sulawesi Poso - Parigi - Palu masih memakan waktu sehari semalam. Wisata yang cukup melelahkan dan berkesan. Akomodasi dan Transportasi Hanya ada dua penginapan di Lembah Napu yang menjadi tempat persingahan para wisatawan yang berkunjung ke situs megalith atau pengamatan burung. Penginapan Sendy dan Monalisa, keduanya bertarif Rp 75.000 - Rp 100.000. Sebaiknya memilih Penginapan Sendy karena unggul akan fasilitas, diantaranya genset untuk menambah pasokan listrik yang hanya menyala 6 jam dan rumah makan. Untuk transportasi sebenarnya ada sebuah minibus yang melayani trayek Palu - Lembah Napu, dan Lembah Napu - Poso. Jika dari Palu, naik angkutan ini bisa dari terminal Petobo dengan tarif sekitar Rp 50.000. Namun untuk berwisata yang menantang ini sebaiknya menyewa kendaraan dengan Tarif Rp 350.000 sudah termasuk supir, akan sangat membantu dan memudahkan menjangkau situs. 

Kata Tadulako juga dijadikan sebagai nama Desa yang terletak Provinsi Sulawesi Selatan di Kabupaten Luwu Timur, Kecamatan Tomoni, Desa ini memiliki luas wilayah 15,45 Km2, dan memiliki hampir semua warga masyarakatnya adalah suku pamona, serta Kata Tadulako juga di jadikan nama lapangan sepak bola sampai saat ini.



Sumber: Majalah Travel Club n Cyberindo Aditama

SEJARAH TADULAKO SULAWESI TENGAH - TANAH KAILI - KERAJAAN TADULAKO - UPACARA MOLUMU

Tadulako para hulubalang kerajaan yang bertugas memukul gendang di kuburan, dan melakukan tugas penganon. Pihak-pihak yang terlibat Pihak-pihak yang terlibat dalam upacara molumu dan movara tersebut terdiri dari: Seluruh anggota keluarga, ketua-ketua dewan adat, kerajaan dan pejabat eksekutif kerajaan, Tadulako (pengawal raja/kerajaan), dan anggota masyarakat pada umumnya. Tugas-tugas mereka di samping melakukan tugas-tugas seperti yang disebutkan di atas, juga membantu keluarga dalam melayani tamu-tamu yang datang selama masa molumu/movara tersebut seperti memasak, juga ikut hadir untuk menyatakan rasa duka, di samping membawa pekasivia (bantuan berupa makanan, atau keperluan-keperluan konsumsi lainnya selama masa berkabung tersebut). Tempat upacara molumu dan movara tersebut di dalam rumah kediaman raja atau di rumah adat kerajaan yaitu Baruga atau Bantaya, sesuai keputusan Libutotua nungapa (musyawarah orang tua adat). Perlengkapan Upacara Selama masa molumu dipersiapkan berbagai macam perlengkapan upacara, baik yang digunakan pada masa molumu atau perlengkapan-perlengkapan lain yang digunakan selama masa tersebut. Perlengkapan selama upacara molumu ialah: peti mayat (lumu); kipas (vara); dekorasi, semacam janur yang dibuat dari daun pandan dan bunga kemboja, yang dijadikan penghias lumu (peti mayat) serta mayang pinang dan daun-daun kelapa. Perlengkapan lainnya ialah : ula-ula, jajaka, gimba (gendang), pekabalu (kain pengikat kepala), kepala manusia, dan payung. Ula-ula ialah dua pasang orang-orangan yang dibuat dari kain berwarna kuning tanpa kepala. Keduanya dipasang pada dua tiang di depan rumah pintu pagar masuk seperti bendera, yang memasang ula-ula tersebut, ialah orang tua adat, melalui suatu upacara tertentu. (Ula-ula adalah simbol kebangsawanan. Sebab yang berhak memasang ula-ula dalam setiap pesta upacara adat hanya keluarga bangsawan saja). Payung disiapkan 2 buah dan dipasang terbuka di samping ula-ula yang senantiasa siap dijaga oleh seorang petugas yang disebut kayu mpayu (tiang payung), petugas ini adalah anggota raja/bangsawan yang meninggal tersebut. Payung tersebut pada bagian atasnya dilapis dengan kain putih, dan dililitkan di atas puncak payung tersebut. Jalannya Upacara Jalannya upacara molumu selama masa (menyemayamkan jenazah dalam peti) tersebut terdiri dari beberapa kegiatan. Pertama, ialah membuat lumu (peti mayat) yang dibuat dari pohon kapuk. Bagian atasnya dibuat dalam bentuk piramida dan pada sisi sekeliling lumu tersebut dihiasi dengan daun pandan dan bunga kemboja. Lumu tersebut dibuat oleh para tukang secara gotong-royong, dalam waktu satu hari sejak raja meninggal. Jenazah tersebut kemudian disimpan dalam peti (nilumu) pada hari kedua yang disaksikan oleh seluruh keluarga. Para ketua dewan hadat kampung bermusyawarah untuk menentukan dimana jenazah tersebut disemayamkan di antara dua alternatif yaitu di rumah kediaman atau di rumah adat yang disebut Baruga atau Bantaya. Selama jenazah tersebut disemayamkan, baik sebelum dan sesudah dimasukkan dalam peti, sepanjang siang dan malam diadakan upacara movara, sebagai salah satu rangkaian upacara molumu. Movara ialah upacara pengawalan jenazah oleh sejumlah 14 orang (ruampapitu) yang semuanya kaum wanita. Mereka duduk di samping kiri-kanan lumu masing-masing 6 orang, dan pada bagian kepala dan kaki lumu masing-masing 1 orang sambil mengipas dengan vara (kipas) yang dibuat dari kain putih dalam bentuk bundar telur. Maksud dan fungsi movara, pengipasan jenazah sebelum dan sesudah nilumu selain sebagai simbol dari suatu masa peristirahatan roh menanti saat penguburan, sekaligus sebagai simbol kebesaran upacara bagi para raja/bangsawan. Juga masa menunggu persiapan perlengkapan upacara penguburan yaitu kepala manusia. Pelaksanaan teknis upacara disebut topovara. Topovara (orang-orang yang bertugas mengipas jenazah) melakukan tugas secara bergantian, baik pada siang atau malam hari, selama masa nolumu atau sebelum jenazah dikuburkan. Mereka disebut kayu nuvara, artinya turunan dari orang-orang yang sejak dulu diberi tugas untuk itu. Upacara itu dikoordinir olen togura nungapa. Posisi duduk mengitari lumu tersebut yang diatur oleh adat. Bila yang meninggal tersebut seorang raja atau bangsawan, yang duduk pada bagian kepala jenazah adalah keturunan dari keluarga orang tua adat, sedang bila orang tua-tua adat meninggal dunia, yang duduk pada bagian kepala adalah anak-anak keluarga bangsawan. Tata cara pengipasan dari dua kelompok yang berbeda di sebelah kiri kanan Lumu tersebut-diatur berlawanan. Bila kelompok 6 orang sebelah kanan mengayun kipasnya ke kiri, maka kelompok 6 orang sebelah kiri mengayun kipasnya ke kanan. Demikian pula orang yang di kaki dan kepala status sosial antara yang duduk di bagian kepala dan kaki harus berbeda, yang duduk pada bagian kaki (Riayalaya) adalah orang biasa (To dea), sedang yang duduk di bagian kepala harus orang bangsawan. Setiap topovara masing-masing membawa vara dari rumahnya sendiri, di samping ada vara petombongi (vara sumbangan) dari hampir semua anggota keluarga atau orang tua adat yang berasal dari luar kampung. Topovara datang dengan sukarela dan dikoordinir oleh Ketua Adat. Masa movara ini berlangsung maksimal 40 hari 40 malam, yaitu selama masa molumu, kecuali bila kepala manusia hasil pengayauan lebih cepat tersedia/didapatkan oleh para Tadulako, maka masa movara atau molumu ini dapat dipersingkat, atas mufakat libu (musyawarah dewan adat). Salah satu acara yang penting ialah upacara Mentanginjaka, yaitu suatu upacara menangisi mayat dengan cara nompejala yaitu mengungkapkan kesedihan, rasa keharuan, dengan kata-kata yang isinya melukiskan kebaikan-kebaikan pribadi yang ditangisi, seakan-akan mereka belum patut ditinggalkan dan sebagainya. Orang yang diberi tugas tersebut ialah seorang tua perempuan yang dianggap ahli mengungkapkan suara hati masyarakat dengan tutur kata yang penuh kesedihan. Acara ini berlangsung pada siang atau malam hari, selama masa molumu/movara tersebut, sampai pada saat-saat jenazah/lumu tersebut telah siap diangkat ke kubur, yaitu pada saat orang-orang banyak berkumpul, atas permintaan Ketua dewan Hadat, dan menjelang mengantar jenazah ke kuburan. Maksud upacara ini ialah menggugah perasaan haru, dan menimbulkan perasaan berkabung atau berduka cita bagi masyarakat pada umumnya, dan menbangkitkan rasa simpati dan solidaritas dalam upaya mensukseskan upacara kebesaran raja tersebut di saat ditimpa musibah dengan sifat gotong-royong. Upacara lainnya ialah pamasangan Ula-ula (mompepeoko ula-ula) disertai pula dengan persiapan perlengkapan upacara lainnya yang disebut jalaka. Jalaka ialah seperangkat benda-benda tertentu, yang terdiri dari kepala 1 buah, benang kapas 10 gulung, pisang 1 sisir, 1/2 liter beras, yang diletakkan di atas sebuah bakul yang disebut pada. Jajaka ini disimpan di bawah 2 tiang ula-ula yang dipasang di halaman depan rumah, di pintu pagar rumah orang yang kematian tersebut. Di samping ula-ula tersebut dipasang pula 2 buah payung yang diberi lapis kain putih pada bagian atas kedua payung tersebut yang dijaga oleh kayu mpayu. Waktu pemasangan ula-ula tersebut pada pagi hari bila yang meninggal pada malam hari, dan atau saat sesudah orang meninggal bila pada siang hari. Ula-ula tersebut dipasang baik siang maupun malam hari selama upacara adat kematian belum selesai. Ula-ula adalah simbol kebangsawanan. Gendang atau gimba dipersiapkan 3 buah yang ditempatkan pada 3 buah tempat yaitu di rumah kematian, di rumah Ketua Dewan Hadat (to tua nuada), dan di pekuburan (ridayo). Selama masa molumu atau movara tersebut ketiga gendang tersebut ditabuh sepanjang hari baik siang maupun malam dijaga oleh petugas khusus. Gendang yang pertama kali ditabuh ialah yang ada di rumah kematian, dimulai oleh orang tua hadat, dan kemudian diserahkan kepada Tadulako atau todea (masyarakat umum). Namun gendang di pekuburan sepenuhnya tugas para Tadulako, di sini terkandung maksud bahwa petugas-petugas di sinilah yang diberi tugas mengayau (nangae). Mereka memakai pengikat kepala selebar destar dari kain putih. Upacara mengikat kepala tersebut disebut nekabalu, sedang alat penutup kepala tersebut disebut pekabalu. Pakaian tersebut mengandung makna tersendiri, yaitu selama mereka masih mekabalu, sekalipun raja sudah dikebumikan, mengisyaratkan bahwa tugas mereka.mengayau belum berhasil dan masih terus berjalan. Mereka beranggapan bahwa pengabdian mereka terhadap raja dan kerajaan belum selesai, dan masih terus diminta oleh adat kerajaan. Bila batas waktu 40 hari selesai, dan sedikit kemungkinan untuk mendapatkan kepala manusia di luar lingkungan kerajaan, maka penggantinya adalah kepala seorang budak sahaya atau budak turunan yang disebut batua nggutu. Rangkaian kegiatan upacara tersebut di atas bukan menggambarkan tahap-tahap upacara melainkan suatu rangkaian kegiatan upacara yang dilaksanakan selama masa persemayaman jenazah yaitu sejak nienghembuskan napas terakhir sampai menjelang upacara penguburan. Pantangan-pantangan yang berlaku selam jenazah disemayamkan, yaitu: Pantang memasak/membuat minyak kelapa dalam rumah dan harus memasak di tanah sebab bau minyak kelapa dapat mengganggu jenazah di dalam peti mayat yang disimpan dalam rumah atau Baruga/Bantaya. Pantang membuat dan memasak sayur nangka (ganaga) dalam rumah ketuarga si mayat karena selalu mogana dalam arti selalu ada orang yang meninggal dalam kampung itu. Pantang membuat sayur nangka karena nama mogana identik dengan nama nangko dalam bahasa Kaili, yaitu ganaga sama dengan kata gana. Pantang memasak sayur kelor bagi seluruh warga desa selama masa jenazab disemayamkan karena mengakibatkan banyak orang yang meninggal dunia, selalu gugur seperti daun kelor. Daun kelor yang sudah dipetik, mudah layu dan gugur, terpisah dari tangkainya, suatu sifat yang ditakuti bila manusia mengalami keadaan yang demikian. Masyarakat umum pantang menggoreng sesuatu dalam rumah dan harus di tanah karena dapat mengganggu jenazah. Pantang bagi masyarakat desa tersebut menenun kain dalam rumah karena menggangu rob jenazah selama disemayamkan. Upacara yang telah hilang ialah upacara Molumu dan Mangae. Molumu dan Mangae dua kegiatan yang sangat berkaitan. Molumu dalam arti menyemayamkan jenazah dalam peti dalam waktu yang cukup lama, maksudnya memberi kesempatan kepada Tadulako untuk mengayau (mangae) mencari kepala manusia. Lama tidaknya jenazah disemayamkan bergantung cepat tidaknya kepala manusia itu didapatkan oleh Tadulako. Hal ini hanya berlaku bagi raja yang memegang tampuk kekuasaan. Penganut agama (Islam) dan perubahan stratifikasi sosial dalam masyarakat mendesak hilangya upacara ini sejak zaman Belanda menjelang masa kemerdekaan. Upacara lainnya hingga sekarang ini masih tetap terpelihara ialah Movara sekalipun waktunya terbatas, yaitu sejak seseorang meninggal sampai sebelum jenazah diantar ke kubur. Perbedaan-perbedaan yang prinsipil dalam upacara kematian antara raja dan bangsawan antara lain: bagi raja (yang memegang tampuk kekuasaan) pada zaman dulu, adalah : Upacara Molumu (menyemayamkan jenazah di dalam peti) sedang kaum bangsawan tidak; lamanya jenazah disemayamkan cukup lama, sedangkan kaum bangsawan lebih singkat, sama dengan orang biasa (1 sampai 2 hari saja) tanpa peti jenazah; memerlukan kepala manusia untuk dikuburkan bersama raja dari hasil pengayauan, sedangkan bangsawan tidak; raja dikuburkan dengan peti jenazah, sedangkan bangsawan tidak memakai dindingari (papan lebar segi empat panjang penutup liang lahat) seperti todea (orang banyak), tetapi mereka menggunakan penutup liang lahat bersegi tiga dari papan. 



Sumber : eka_boy@ovi.com. http://ekaboymaster.blogspot.com

Bahasa Pamona Terancam Punah

Seorang budayawan asal Poso di Sulawesi Tengah, Mernimus Taona, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap keberadaan Bahasa Pamona, yang menurut dia terancam punah akibat semakin jarang dipergunakan oleh penuturnya. "Itulah sebabnya saya mengatakan bahwa bahasa ini kemungkinan akan punah dalam waktu 15 tahun ke depan? kata dia dalam sebuah diskusi plularisme budaya di Poso. Bahasa Pamona merupakan bahasa yang pergunakan oleh Suku Pamona, salah satu penduduk asli di Kabupaten Poso yang mendiami bagian selatan wilayah tersebut. Bahasa ini sebelumnya merupakan bahasa daerah paling banyak dipergunakan oleh masyarakat di Kabupaten Poso karena Suku Pamona merupakan komunitas terbesar di daerah tersebut. Sementara bahasa daerah itu sekarang ini masih terlihat hidup di wilayah pedesaan, namun sebagian besar penduduk asli setempat cenderung menggunakan Bahasa Indonesia dan sebagian lagi mencampuradukannya dengan logat Manado. Menurut Taona yang juga Sekretaris Majelis Taruna Adat Kabupaten Poso, salah satu penyebab mulai kurangnya penutur Bahasa Pamona dikarenakan para orang tua jarang mengajarkan bahasa daerah ini kepada generasi di bawahnya. Ia menambahkan, banyak generasi muda di wilayah Poso dewasa iniyang tidak mengetahui simbol dan semboyan daerahnya sendiri. Sementara itu, Abdurrahman Balie yang Ketua Dewan Adat Kecamatan Poso Kota Utara, dalam diskusi kebudayaan itu, menyatakan kalau salah satu kendala dalam melestarikan bahasa dan budaya Pamona adalah kebudayaan bertutur pada masa lalu tidak dibarengi dengan pencatatan yang dilakukan oleh generasi muda saat ini. Fenomena hilangnya Bahasa Pamona itu, menurut dia, ditandai dengan semakin kurangnya penggunaan bahasa daerah ini pada anak dan remaja, terutama yang menetap di wilayah perkotaan (ibu kota kabupaten dan kecamatan). Tapi, bagi Dr Cristian Tindjabate, akademisi dari Universitas Tadulako yang juga hadir dalam acara tersebut, menyatakan bahwa semakin memudarnya bahasa dan kebudayaan masayarakat asli di Kabupaten Poso saat ini dikarenakan oleh berbagai masalah. Kurikulum Pendidikan Santo, seorang tokoh masyarakat dari Dewan Adat Kabupaten Poso, yang juga hadir pada acara ini, mengusulkan perlunya memasukkan mata pelajaran Bahasa Pamona ke dalam sistem pendidikan di Kabupaten Poso, untuk mengantisipasi kemungkinan hilangnya bahasa daerah tersebut. Menurut Santo, dimasukkannya Bahasa Pamona sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah merupakan upaya untuk melestarikan kebudayaan milik daerahnya, sekaligus memperkuat kebudayaan nasional bangsa Indonesia. Namun, menurut seorang pejabat pada Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Poso, Rolex Taropo, pihaknya sejak beberapa tahun lalu sudah merancang sebuah kurikulum pendidikan bahasa Poso untuk dimasukkan ke dalam mata pelajaran muatan lokal. Akan tetapi, kata dia, rencana itu sulit dilaksanakan, dikarenakan tidak semua tenaga pendidik di lapangan memiliki kemampuan berbahasa daerah yang cukup untuk melaksanakan kurikulum tersebut. 



Sumber : www.lampung-news.com

CERITA RAKYAT SULAWESI TENGAH " TADULAKO BULILI "

Di desa suatu desa bernama Bulili hiduplah 3 orang tadulako atau panglima perang. Mereka masing-masing bernama: Bantaili, Makeku dan Molove. Mereka terkenal sangat sakti dan pemberani. Tugas utama mereka adalah menjaga keselamatan desa itu dari serangan musuh. Pada suatu hari Raja Sigi mempersunting seorang gadis cantik Bulili. Mereka tinggal untuk beberapa bulan di desa itu hingga gadis itu mengandung. Pada saat itu Raja Sigi meminta ijin untuk kembali ke kerajaannya. Dengan berat hati perempuan itu melepas suaminya. Sepeningal Raja Sigi itu, perempuan itu melahirkan seorang bayi. Pemuka-pemuka Bulili lalu memutuskan untuk mengirim utusan untuk menemui suami perempuan itu. Utusannya adalah tadulako Makeku dan Bantaili. Sesampainya di Sigi, mereka bukannya disambut dengan ramah. Tetapi dengan sinisnya raja itu menanyakan maksud kedatangannya. Mereka pun menguraikan maksud itu. Mereka menyampaikan bahwa mereka diutus untuk meminta padi di lumbung untuk anak raja yang baru lahir. Dengan congkaknya raja Sigi menghina mereka. Ia lalu berkata pada Tadulako itu: "kalau mampu angkatlah lumbung padi di belakang rumah." Dengan marahnya Tadulako Bantaili mengeluarkan kesaktiannya. Ia pun lalu mampu memanggul lumbung padi besar yang dipenuhi oleh padi. Biasanya lumbung kosong saja hanya akan bergeser kalau diangkat oleh puluhan orang. Makeku berjalan di belakang Bantaili untuk mengawal lumbung padi itu. Dengan sangat geram Raja Sigi memerintahkan pasukannya untuk mengejar mereka. Pada suatu tempat, terbentanglah sebuah sungai yang sangat lebar dan dalam. Dengan mudahnya mereka melompati sungai itu. Meskipun sambil menggendong lumbung padi, Bantaili berhasil melompatinya tanpa ada banyak ceceran beras dari lumbung itu. Sedangkan pasukan yang mengejar mereka tidak berani melompati sungai yang berarus deras. Mereka akhirnya kembali ke Sigi dengan kecewa. (Diadaptasi secara bebas dari Drs. A, Ghani Ali dan Kawan-kawan, "Tadulako Bulili," Cerita Rakyat Sulawesi Selatan, Jakarta: Departemen P dan K, 1981, 113-118).




 Diperoleh dari "http://www.budaya-indonesia.org/iaci/Tadulako_Bulili"