SELAMAT DATANG WA'A KASANGKOMPO (SAUDARA) di BLOG ANAK PAMONA . . . .PAKAROSO MOSINTUWU NAKA MOLANTO . . . . SINTUWU MAROSO . . . .

Minggu, 20 Juli 2014

GOA PAMONA



HIMPALAUNAS.COM, POSO - Jika Anda sedang mengunjungi Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), sempatkanlah singgah ke Gua Pamona.
Gua yang terletak persis di sebelah Danau Poso ini selain menawarkan keindahan alamnya, gua ini juga menjadi salah satu tujuan wisata mistis dan unik. Gua yang namanya sama dengan suku asli orang Poso tersebut terletak di Desa Sangele.
Gua Pamona yang memiliki panjang sekitar 200 meter dengan kedalaman 80 meter ini sebagian guanya berada di bawah Danau Poso. Mulut Gua Pamona menghadap ke selatan dengan lebar dua meter. Sebagian jalan di gua tersebut memiliki ketinggian kurang dari satu meter, sehingga memaksa pengunjungnya untuk berjalan sambil berjongkok.
Menurut cerita masyarakat setempat, selama ratusan tahun silam gua tersebut berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan jenazah raja atau kaum bangsawan suku Pamona dan keluarganya. Hal itu dapat dibuktikan dengan adanya kerangka manusia dan keranda yang masih ada di dalamnya. Banyak warga setempat meyakini gua tersebut merupakan salah satu tempat asal-usul leluhur mereka karena leluhur orang Pamona yang juga biasa disebut orang Poso itu, dulunya bermukim di bukit-bukit, khususnya yang hidup di perbukitan Wawolembo.
Dalam gua tersebut juga terdapat delapan kamar atau ruang yang sangat gelap dan lembap. Ruang tersebut dahulunya berfungsi menyimpan jenazah suku Pamona yang disesuaikan dengan status sosialnya. Jenazah yang disemayamkan tersebut biasanya disertai perangkat kubur, seperti pakaian atau barang-barang berharga milik jenazah semasa hidupnya.
Karena letak gua yang dalam menyebabkan oksigen di dalamnya relatif sedikit. Hal itu membuat pengunjung merasa gerah dan cepat lelah saat menyusuri jalan dalam gua. Pencahayaan di gua tersebut juga sangat minim, hanya mengandalkan cahaya matahari yang berasal dari celah-celah bebatuan di atasnya.
Puas menikmati keindahan Gua Pamona, Anda bisa beristiaraht sejenak di penginapan yang terdapat di sekitar lokasi wisata tersebut. Selain itu, terdapat beberapa rumah makan yang menyediakan menu khas Tentena, seperti ikan sogili atau sidat yang disajikan dengan berbagai cara seperti direbus, dibakar atau digoreng.
Gua Pamona berjarak sekitar dua kilometer dari Kota Tentena, Kecamatan Pamona Utara, Kabupaten Poso. Gua ini dapat dijangkau dengan kendaraan pribadi baik mobil maupun sepeda motor sampai kilometer pertama, selepas itu perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki sampai di mulut gua sekitar 1 jam. Sepanjang perjalanan ke mulut gua ini kita akan disuguhkan suasana alam tropis yang indah.

Untuk mengetahui keadaan dan situasi salah satu wujud dari Budaya suku Pamona saat ini, apakah ada bentuk pelastarian dari pemerintah setempat atau tida dan di biarkan begitu saja, kita dapat langsung berkunjung ke Goa ini yang terletak di Desa Sangele, Kecamatan Pamona Utara, kurang lebih 58 Kilometer dari Kota Poso, dapat ditempuh dengan semua jenis kendaraan. Gua Pamona terletak dibukit karang sebelah barat dipinggir Danau Poso


sumber : http://ayudesiani.blogspot.com/2012/02/goa-pamona.html

Asal Nenek Moyang Suku Pamona

 
Dari Postingan saya sebelumnya tentang Suku Pamona, sekarang saya mau tambahin penjelasan mengenai Asal Nenek moyang Suku Pamona yang saya dapatkan dari Blog tetangga,,,hehehe
 
Di Poso Provinsi Sulawesi Tengah, terdapat berbagai macam suku. Namun suku yang mendominasi wilayah Poso adalah suku Pamona. Makanya, kadang suku Pamona disebut juga dengan suku Poso atau orang Poso. Padahal suku Poso tidak ada, yang ada hanyalah wilayah Poso yang didiami oleh sebagian besar suku Pamona.
Selain di Poso, suku Pamona juga mendiami wilayah Kabupaten Tojo Una-Una, sebagian wilayah Kabupaten Morowali, bahkan provinsi Sulawesi Selatan yakni di wilayah Luwu Timur. Sedangkan sebagian kecil hidup merantau di berbagai daerah di Indonesia.

Nenek Moyang Suku Pamona berasal dari dataran Salu Moge (luwu Timur). Karena berada di atas gunung yang jauh dari pusat pemerintahan, sehingga mereka diturunkan oleh Macoa Bawalipu mendekati pusat pemerintahan, yaitu di sekitaran wilayah Mangkutana (luwu Timur).

Hingga terjadinya pemberontakan DI/TII, mereka menyebar sampai ke Sulawesi Tengah dan daerah lainnya. Jika di suatu daerah terdapat suku Pamona, biasanya selalu ada Rukun Poso, yaitu wadah perkumpulan orang-orang sesuku untuk melakukan berbagai kegiatan di daerah tersebut.

Asal kata Pamona diambil dari nama bukit bernama Pamona di Tentena, suatu desa di pesisir utara danau Poso. Bukit tersebut dinamai Pamona karena banyak ditumbuhi pohon Pamona. Di atas bukit tersebut dibangun sebuah istana kerajaan. Raja yang berkuasa di daerah tersebut diberi nama Raha Pamona, sesuai dengan nama bukit yang ditumbuhi banyak pohon Pamona. Pohon ini juga tumbuh di sekitar istana raja. Lama-lama kerajaan ini besar hingga meliputi negeri yang berada di sekitar danau Poso.

Suku Pamona memiliki lembaga adat. Keberadaan lembaga Adat Pamona saat ini terbagi menjadi dua, yakni untuk di daerah Poso bernama Majelis Adat Lemba Pamona Poso sedangkan untuk di tanah Luwu (Kabupaten Luwu Timur dan Kabupaten Luwu Utara) dinamakan Lembaga Adat lemba Pamona Luwu.

Suku Pamona menggunakan Bahasa Pamona (Bare'e) dan Bahasa Indonesia dengan gaya bahasa setempat. Bahasa ini juga kadang disebut dengan Bahasa Poso, yang digunakan oleh sekitar 200.000 orang dari suku Pamona di Indonesia. Pamona hanya memiliki ragam bahasa lisan saja, tidak memiliki ragam tulisan atau aksara.

Meskipun suku Pamona memiliki bebebarapa subsuku seperti suku Wingkendano, Onda'e, Pebato, Lage, Lamusu, dan sebagainya, tetapi bahasa yang digunakan sama. Hanya saja perbedaannya terletak pada intonasi setiap kata yang digunakan. Bahasa Pamona juga mengenal strata dalam penuturan dengan tingkat kesopanan Namun secara umum, masing-masing subsuku dapat mengerti satu sama lain ketika bercakap-cakap.

Suku Pamona sebagian besar menganut agama Kristen. Agama ini masuk daerah sekitar 100 tahun yang lalu dan sampai sekarang diterima sebagai agama rakyat. Saat ini semua gereja-gereja yang sealiran dengan gereja ini bernaung dibawah naungan organisasi Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) yang berpusat di Tentena, kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.

Dalam hal kebudayaan, suku Pamona masih mempertahankannya. Ada dua kebudayaan yang masih dilestarikan, yaitu adat perkawinan dan syukuran setelah masa panen. Dalam adat perkawinannya, diatur mahar yang mesti ditanggung oleh mempelai pria.

Dalam adat ini juga ada tradisi gotong royong atau membantu dalam perkawinan yang disebut dengan Posintuwu. Bantuan yang diberikan berupa bantuan bahan-bahan makanan, uang, dan sebagainya. Posintuwu pasti akan terus terjaga karena setiap orang yang sudah diberi posintuwu harus membalasnya di kemudian hari kepada pemberi bila saat berlangsung pernikahan.

Sementara ucapan syukur setelah panen disebut dengan Padungku. Setelah panen masyarakat Pamona pasti melaksanakan ucapan syukur pada Tuhan pencipta (Pue mPalaburu) atas berkat kesuksesan panen. Walaupun masyarakat di sana sebagian bukan petani, tetapi harus tetap melaksanakannya juga sebagai ucapan syukur tahunan. Pada hari Padungku ini semua rakyat dapat saling berkunjung satu sama lain tanpa merasa keberatan. Tidak ada pembatasan untuk siapapun.

Ada lagi upacara pemindahan mayat yang disebut dengan Ndatabe. Jenazah tersebut disimpan pada tambea (tempat penyimpanan jenazah) sampai menjadi tulang belulang yang bersih dan letaknya agak jauh terpisah dari penduduk. Bila jenazah tersebut tinggal tulang belulang, diadakan upacara Mompemate (memindahkan tulang belutang tersebut ke gua-gua).

Dalam hal kesenian, masyarakat Pamona memiliki tarian tradisional bernama tarian Dero atau Madero. Tarian ini diadakan pada pesta-pesta rakyat. Biasanya dilakukan oleh orang-orang muda. Tarian melingkar dilakukan dengan saling bergandengan tangan, sambil berbalas pantun diringi musik ceria.

Menurut iramanya, madero dibedakan atas tiga macam gerakan yakni ende ntonggola, ditarikan saat menyambut bulan purnama. Kedua, ende ngkoyoe ditarikan saat mengantar panen atau perayaan hari besar atau pesta. Sedangkan yang ketiga ende ada untuk penyambutan hari-hari adat atau perayaan.

Seperti halnya dengan suku-suku lain seperti Batak, Toraja dan lainnya, suku Pamona juga menggunakan marga untuk mengikat kekerabatan satu darah. Misalnya marga Torau, Awundapu, Banumbu, Bali'e, Baloga, Belala, Betalino, Beto, Botilangi, Bulinde, Bungkundapu, Bungu, Buntinge, Dike, Dongalemba, Gilirante, Gimbaro, Gugu, Gundo, Kampindo, Kambodji, Kalembiro, Kalengke, Karape, Karebungu, Kayori, Kayupa, dan masih banyak lagi. 
 
 
 
 

Jumat, 11 Juli 2014

Koro Uelanti ( Permandian Uelanti )

Sungai Uelanti berhulu di kaki gunung Towingkeli, mata airnya menyerupai kolam yang mengeluarkan gelembung-gelembung dan mengalir melintasi dusun mangkulande dan bermuara disungai kalaena. Permandian ini memiliki daya tarik tersendiri yaitu airnya sangat sejuk dan disisi kiri-kanan aliran sungai di tumbuhi pepohonan yang sangat rindang. Untuk mencapai obyek permandian ini kita dapat menggunakan kendaraan roda empat dan dua. Jarak dari ibukota malili sekitar ± 64 km. (pdf wisata lutim)

Yang dimana pada zaman dahulu, sungai ini begitu sakral oleh para tokoh-tokoh adat suku pamona, dimana para bangsawan/kabosenya suku pamona bila diangkat untuk menjadi seorang pemimpin atau kegiatan adat lainnya, sungai inilah yang menjadi tempat untuk diadakan resepsi atau upacara adat.

Namun seiring bejalannya waktu sungai atau tempat ini telah berubah fungsi menjadi objek wisata/permandian beberapa tahun terakhir ini, sungai yang terletak di Desa Kasintuwu, Mangkulande, dimana warga yang bermukim di desa ini hampir semua adalah suku pamona, walaupun ada beberapa suku lainnya.

Objek wisata Pemandian Uelanti saat ini menjadi salah satu tempat wisata keluarga oleh warga masyarakat yang berada di beberapa kecamatan di kabupaten Luwu Timur, Koro Uelanti sebutan oleh warga setempat yang masih alamami ini banyak diminati oleh warga khususnya kaum-kaum muda untuk melakukan masa liburan sekolah, serta kegiatan rekreasi lainnya, di pinggiran sungai terdapat beberapa lapak oleh warga yang berada disekitaran sungai ini dimana para warga ini menyewakan ban ( ban dalam mobil besar ) untuk di gunakan para pengunjung, menyewakan beberapa Pondok atau kandepe yang berada di sekitaran pingiran sungai, serta mereka juga menjual beraneka ragam minuman dan makanan, hal ini menjadi penghasilan warga setempat bahkan mata pencaharian mereka.

Harapan agar kiranya Objek Wisata Koro Uelanti bisa mendapat apresiasi dari Pemerintah Kabupaten Luwu Timur secara khusus dinas pariwisata luwu timur, melalui pemerintah setempat serta dukungan oleh warga Desa Kasintuwu dusun mangkulande khusunya para suku pamona, Mulai dari akses jalan masuk ke tempat wisata yang masih berbatu, serta sarana dan prasarana yang mendukung.